Selasa, 28 Juli 2015

Socrates dan Bintang ( beda di bawah restu) bab II.

Disebuah pantai yang sedang menunggu senja. Laut berombak tenang menunggu dengan sabar tenggelamnya matahari yang memberikan pertunjukan warna yang indah. Burung-burung laut bergerombol pulang dari kantornya menuju rumahnya. Para nelayan perahu tanpa lampu juga sudah bersandar di pasir putih.
Socrates dan Bintang sedang berada di tengah-tengah pertunjukan. Namun suasana pantai yang indah tidak dapat menurunkan suasana tegang diantara keduanya. Mereka memperbincangkan diri mereka sendiri. Keduanya mengajukan tanya akan kepastian hubungan mereka. Dan haruskah seperti apa untuk menyatukan perbedaan.
“ Socrates. Jika kau memang cinta padaku. Maka cintailah pula segala apa yang ada pada diriku. Termasuk keyakinan yang aku anut. Jika kau ingin menikahiku maka nikahilah aku segera?” ucap bintang sambil berdiri memandangi lautan.
“ sabar bintang” ucap Socrates yang berdiri lebih maju sambil melemparkan bebatuan kecil kelaut.
“ aku butuh kepastian darimu Socrates. Kamu mencintaiku kan?”
“aku mencintaimu Bintang. aku sangat mencintaimu?” socrates berjalan mendekati bintang lalu duduk disampingnya. Bintang ikut duduk disamping Socrates. Dan mereka saling memandang dengan wajah yang penuh tanya.  Lalu Bintang berdiri dihadapan Socrates melantunkan sebuah puisi.

Aku dan kamu berdiri pada kelembutan
Pada pertunjukan kolosal alam senja.
Memandangi tarian para perahu nelayan.
Di hibur oleh ombak yang bernyayi pelipur lara.

Aku ingin kau memandangi langit barat.
Matahari yang perlahan merapat.
Menghadiri sebuah isyarat.
Akan malam yang bernilai karat.

Sebelum malam itu melahap sinar dan memunculkan sinar baru.
Aku ingin berkata pada bulan.
Aku adalah bintang.
Yang menemaninya setiap malam.
Dan hilang bersamanya pada kehabisan malam.

Socrates tersenyum memandangi Bintang yang membacakan sebuah puisi yang memberikan arti yang dapat di tafsirkan oleh Socrates. Socrates lalu berdiri dan menghampiri Bintang. memegang  tangan bintang dengan lembut.
“Aku mencintaimu bintang, aku ingin menikahimu. Aku tahu Kita adalah ibarat bulan dan bintang. kita memiliki perbedaan yang mencolok. namun sebuah pernikahan tidak hanya membutuhkan cinta. Tapi persetujuan dari kedua belah pihak. Dan semuanya butuh proses. Bagaikan pertunjukan matahari yang kita saksikan saat ini. Semuanya perlahan dan butuh kesabaran. Dan aku ingin kamu bersabar bintang?”
“ Socrates, aku ingin kamu segera memberikan aku kepastian. Bulan ini ayah dan ibu harus ke Jerman. Dan aku tidak tahu sampai kapan. Aku tidak punya pilihan untuk tinggal selain kamu. Dan itu tidak akan kuat. Jika kamu belum menikahiku?”
“baiklah.” Namun Socrates belum yakin dengan pilihannya.
Mereka berpegangan tangan sambil memandangi matahari yang secuil saja sudah akan tenggelam.


Pada malam yang lain, hajji nurdin setelah memimpin sholat berjamaah membuka sebuah diskusi tentang keagamaan. Diskusi tersebut berjalan dengan hikmat. Beberapa pertanyaan dari para jamaah dijawabnya sesuai dengan tuntunan Al-qur’an dan assunnah. Namun sampai pada pertanyaan terakhir hajji Nurdin terdiam dan lama tak bisa menjawab pertanyaan seorang jamaah.
“bagaimana pandangan kyai, mengenai pernikahan beda agama. Apakah pernikahan itu sah atau tidak”
Dalam kepala hajji Nurdin. Ia teringat dengan anaknya Socrates. Harus kah ia menjawab tidak. Jika tidak maka ia harus berpegang pada ucapannya. Jika ia maka ini akan menimbulkan kontroversi sedangkan hatinya mengatakan tidak. Maka ditengah kebingungan itu hajji Nurdin mendapatkan jawaban yang lain.
“ sebaiknya untuk menikah. Dua insan harus memiliki banyak persamaan. Yakni sama visi kehidupannya. Sama akhlaknya, sama kualitas dan kuantitas hartanya dan pendidikannya, sama pula pada budayanya, dan sama keyakinanya. Karena jika pernikahan terlalu banyak perbedaannya atau terlalu besar perbedaannya maka akan sangat rentan pernikahan itu berujung pada perceraian dan ketidak pastian pada keturunannya.”
Jawaban itu menurut hajji Nurdin, tidak memberikan jawaban ia juga tidak memberikan jawaban tidak. Tergantung bagi penerima jawaban tersebut.
Disikusi tersebut berakhir begitu waktu sholat Isya berkumandang. Dan hajji Nurdin kembali memimpin sholat berjamaah. Begitu sholat selesai didirikan hajji Nurdin berjalan cepat namun tanpa buru-buru karena kaki hajji Nurdin tidaklah sekuat saat ia masih berusia muda.
Apa yang membuatnya berjalan cepat?. Hajji Nurdin ingin segera kembai kerumah. Dan ingin segera mendengar jawaban dari anaknya. Dan benar saja Socrates sudah menunggu ayahnya di teras rumah.
“Assalamu alaikum?” hajji Nurdin mengucapkan salam.
“walaikum salam ayah” Socrates berdiri menyambut kedatangan ayahnya dan mencium tangannya.
“kamu sudah lama sampai?”
“baru saja Ayah”
“kalau begitu kita makan dulu. Adikmu Nabila sudah masak. Katanya spesial untuk kakaknya”
“oh yah. Kalau begitu mari ayah”
“Nabila” hajji Nurdin memanggil dengan lembut. Tidak usah keras. Karena rumah mereka tidak terlalu luas.
Dari dapur seorang gadis remaja membuka Gorden. Gadis remaja berhijab dan cantik. Socrates tahu itu adalah adiknya. Namun Socrates kaget begitu ia memasuki ruang makan. Ia melihat gadis yang lain. Berhijab dan lebih cantik dari pada adiknya. Socrates terpana, terpana bukan karena jatuh cinta, namun baru pertama kali ini ia mendapati seorang gadis lain berada di ruang makannya.
“kakak sudah lama diteras” Nabila membuyarkan lamunannya.
“ia.” Hitungan lima detik baru socrates menjawabnya.
“kakak kok gak beri salam sih?”.
“kan kakak belum masuk rumah. Kakak sebenarnya mau memberikan kejutan bagi Nabila. Tapi kayaknya Nabila yang memberikan kakak kejutan. Baru kali ini Nabila memasak masakan yang kelihatannya enak?”.
“ pasti enak dong Kakak. Kan ada kak Rafiqah yang bantuin Nabila”.
Gadis bernama Rafiqah itu tersenyum manis. Dan Socrates pun tahu gadis ini adalah cara ayah agar Socrates dapat melupakan Bintang.
“ oh iyah kak Rafiqah, kenalin ini kakak saya. Namanya Socrates, namanya sih kedengaran aneh. tapi orangnya di jamin tidak aneh. dia suka sekali membuat puisi. dan puisi cintanya itu begitu indah. Tapi kebanyakan puisinya itu tidak bisa di mengerti. Kakak aku ini tinggalnya di apartemen. Dia seorang dosen sekaligus pengusaha lukisan dan....” Nabila baru saja mau melanjutkan deskripsinya namun batal setelah mulutnya di sekap oleh Socrates.
“ Adik aku ini memang cita-citanya ingin menjadi presenter. Jadi cerewetnya bukan main”
“ah kakak bisa aja”
“semuanya sudah siap” hajji Nurdin ikut masuk keruang makan.
“Siap Ayah” ucap Nabila.
“kalau begitu kita makan sama-sama, Rafiqah kamu ikut makan yah.?”
“tidak usah kyai, Rafiqah sudah makan di rumah”
“beda dirumah rafiqah beda pula di rumah kyai.”hajji Nurdin Tahu bahwa gadis ini hanya malu saja.
“maaf Kyai tapi saya benar-benar sudah kenyang.” Namun Rafiqah tetap kekeh mempertahankan wibawanya.
“baiklah kalau begitu,tapi Rafiqah jangan pulang dulu. Tunggu kyai dan Socrates makan dulu?”
“baiklah Kyai”
“Nabila kamu temanin dulu rafiqah di depan”
“iya ayah?”
Makan malam mereka di mulai dengan mengambil sesiung nasi dan beberapa sendok sayur. Permulaan makan malam itu diwarnai suasana yang khitmat. Socrates tidak lah berani memulai perbincangan padahal ada beribu tanya dan menjadi juta tanya begitu seorang gadis bernama Rafiqah muncul di hadapannya. Namun di tengah kebisuan itu hajji Nurdin memulai pembicaraan.
“kamu tidak mengenali gadis tadi?”
“baru kali ini aku melihatnya ayah”
“kamu tidak sadar bahwa dia itu anak gadis dari kyai idolamu”
“dia anak gadis kyai Ambo dalle yang penghafal Al-Qur’an itu ayah”
“benar. Dia seorang gadis penghafal Al-Qur’an dan seorang dokter”.
Socrates kaget mendengar perkataan ayahnya.
“oh yah.”
Hajji Nurdin sebenarnya ingin melanjutkan perbincangan kearah yang lebih serius dan sensitiv. Namun hajji Nurdin takut seandainya Socrates tersinggung dan akhirnya memutuskan untuk berhenti makan maka itu akan merusak suasana. Hingga makan malam itu kembali mengalami kebisuan setelah Socrates juga berpikir yang sama dengan ayahnya. Keduanya tidak ingin merusak suasana dan menyinggung satu sama lain.
Dan akhirnya makan malam itu selesai. Socrates beranjak dari tempat duduknya begitu ayahnya beranjak duluan. Socrates melihat ayahnya berjalan keruang tamu. Dan socrates mengikut dibelakangnya. Mereka berbincang bersama-sama. Berempat bersama pula dengan Nabila yang selalu saja ceplas ceplos. Socrates hanya tertawa kecil melihat tingkah adiknya. Perbincangan di ruang tamu ini sudah berjalan sepuluh menit. Dan perbingan tidak pernah menyinggung masalah yang serius. Sampai ada suara lelaki yang meminta salam.
“Assalamu alaikum kyai”
“walaikum salam, kalau begitu saya tinggal dulu kalian. Ayah dan pak Burhan harus menghadiri acara barzanji ”.
“kalau begitu saya juga mau pulang Kyai?” ucap Rafiqah yang berdiri meminta izin.
“oh kok cepat sekali. kalau begitu bairkan Socrates dan Nabila yang antar kamu pulang nak,”
“biarkan kami yang antar kamu pulang Rafiqah. Tamukan adalah raja.”
Rafiqah menjawabnya dengan senyuman. Dan itu adalah jawaban lain selain ia.
“Nabila kalau begitu kamu siap-siap. Nak Rafiqah saya pergi dulu ucapkan salam saya sama abi mu.”
“iya kyai”
Disela waktu nabila bersiap-siap. Socrates dan Rafiqah berbincang sebentar diteras rumah. Mereka berdua membeicarakan sesuatu yang ringan-ringan saja. mereka berusaha saling mengenal dan Socrates mulai tertarik untuk mengenal jauh labih dalam gadis ini. Tapi wajah Bintang selalu saja hadir di hatinya. Dan itu membuatnya semakin kebingungan.
“ kata Nabila. Kamu adalah lulusan Filsafat?”
“iyah benar”
“ada yang aku ingin bicarakan mengenai Filsafat. Boleh kita bertemu lagi”
“ aku juga ingin banyak belajar dari seorang penghafal Al-Qur’an, dan saya harap kita bisa saling belajar”.
“terima kasih”
“baiklah ayo kita berangkat kakak?” nabila muncul dari dalam rumah menghabiskan percakapan yang singkat namun sudah memberikan sesuatu rasa penasaran yang ingin mereka ungkap.

Akan hadir cinta segitiga yang bercabang. Dan kata “Tiga” selalu memberikan rumusan masalah yang sulit untuk di selesaikan. Antara Socrates, Bintang dan Rafiqah. Tiga cinta, tiga dunia dan tiga  hati. Munculnya Rafiqah akan memberikan putusan yang sulit bagi Socrates. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar