Surat Untuk Male’. Tak
terbalas
Karya : Summum
Bonun
Ketika
kehadiran seorang Ibu tak ada disamping kita. Saat diri sedang bersedih seolah
mata juga akan terasa buta. Ketika Ibu tak ada disamping kita saat kita butuh
pelukan hangatnya. Seolah –olah tubuh ini kan remuk pecah berkeping keping. Ibuku jauh disana di tanah Jum Pandang. sering kupanggil
dengan sebutan yang mesra “ Male’ ”.
Aku terlalu jauh dari male’ku. Sudah sangat terlalu jauh. Hingga air
susunya yang mengalir bersama darahku seolah mendidih dipanaskan oleh api
rindu. Sudah setahun ini aku terasing di tanah perantuan. Terlalu
lama sudah aku merasakan ikatan dekapan Male’ku. Begitu terlepas kesepian itu
terasa sangat menusuk hatiku. Tapi kedewasaan memaksaku untuk hidup jauh dari
kasih sayang seorang Ibu. Budaya siri’na Pacce memaksaku membulatkan tekad dan
menyimpan semua rasa rindu yang bergelora itu di dalam hati. Aku akan merasa
tak pantas dikatakan sebagai seorang anak bugis Makassar bila terlanjur
mengembangkan layar lalu urung kembali. Kurasa lebih baik aku mati ditanah
rantau menjadi santapan nikmat cacing cacing tanah dari pada harus pulang
dengan tangan kosong dan kantong yang hampa.
Disinilah
diriku saat ini. Di dalam ruangan berukuran kamar mandi hotel. Menyendiri didalamnya
ruang yang berukuran tiga kali empat meter. Biasa orang menyebut “ KOS”dan
memang itulah namanya. Diriku berada ditanah betawi. Ibukota Indonesia untuk
menerapkan peribahasa yang mengatakan “menuntutlah ilmu sampai kenegeri Cina”.
Membulatkan tekadku untuk membuat mimpiku sebagai seorang Filosof sekaliber
Aristoteles menjadi sebuah kenyataan. Meninggalkan semua kenyamanan hidup
bersama male’ku dikampung halaman. Setidaknya seperti itu.
Saat matahari
akan kembali keperaduannya. Tenggelam di barat. Aku berkunjung kerumah Daeng Sija yang terhitung sebagai keluarga dekat. Ia adalah sepupu ibuku. Kemarin Daeng Sija baru saja pulang dari butta Jum Pandang dan ia
membawa kiriman sebuah Amplop dari Ibuku, untukku. Kutanyakan
kepada daeng Sija. Bagimanakah kabar Ibuku? dan ia tersenyum lebar, agak aneh kelihatan karena matanya berkaca kaca dan menjawab
Ibumu baik baik saja. Tidak lama aku bertamu dirumah Daeng Sija. Aku tidak sabar ingin cepat membuka Amplop itu di kos. Kuhabiskan
cepat segelas Sarabba yang masih panas dan tiga buah
sanggara yang baru saja diangkat dari minyak panas.
Membuat tenggorkanku terasa ingin terbakar. Tapi rasa panas hatiku yang dibakar
oleh api rindu lebih menyiksaku. Aku berpamitan ke Daeng Sija dan berterima
kasih atas jamuan yang sangat nikmat itu.
Aku baru saja tiba keKosanku. Pas saat adzan Isya berkumandang bersama berkumandangnya pula suara suara
demonstran ditengah jalan. Berjuang menurunkan rezim orde baru. Mungkin
sebentar lagi perjuangan mereka akan memperlihatkan hasilnya.
Begitu selesai Shalat Isya ku dirikan. Semua tangis yang tersimpan di
mataku
bersama kerinduan tumpah semuanya. Masih diriku berada diatas
sajadah panjang yang sudah kusut. Memakai sarung dan songkok bugis. Aku
pandangi amplop putih yang masih berbau lem. Kubuka pelan pelan. Diamplop itu
tertulis jelas tulisan yang sangat Indah memakai tinta hitam yang sangat jelas
terukir disana sebuah kata “ Male’mu yang tersayang”.
Begitu terbuka aku mendapati selembar uang Soekarno Hatta yang masih baru. Dan itu uang yang jumlahnya sudah terlalu banyak. aku
benar benar tidak bisa berhenti merepotkan Male’ku. Aku sudah sangat terlalu
jauh darinya tapi Male’ku masih saja selalu bekerja keras untukku. Aku tahu uang itu
adalah hasil tabungannya selama delapan bulan dari mengajar sebagai seorang
guru agama yang tidak pernah digaji. Dan begitu pulang dari mengajar Male’ku
berganti kostum. menjadi seorang pencuci piring. Berkeliling kerumah-rumah tetangga dan terakhir kewarung coto Makassar. Male’ku tahu saja
bagaimana membuat anaknya bersedih. Tangis mulai bercucuran dipinggir Mataku yang mulai panas dan hatiku berdebar debar.
Disamping uang itu aku melihat secarcik kertas buku bergaris yang terlipat
dua kali. Lalu kubuka perlahan lipatan itu dan terlihatlah tulisan yang yang
berbentuk paragraf memenuhi satu halaman kertas. Aku tahu ini adalah sebuah
surat. Kubaca dari awal dengan begitu menghayati.
Male’mu yang tersayang.
Assalamu
Alaikum Wr Wb.
Salam kecupan
dari Male’mu
Anakku yang
tercinta. Bagaimana kabarmu. Ibu selalu mendoakan kamu agar selalu dalam
perlindungan Allah. Male’mu juga selalu mendoakan dirimu disetiap sholat ibu.
Meminta kepada Yang Kuasa agar anak Male’ bisa menjadi seorang penegak tiang
Agama dan pengada perdamaian umat. Ah. Mungkin doa male’mu terlalu tinggi .iya
kan nak. Tapi nak itu yang male’mu inginkan .jika kau tak menyukainya. tak
apalah, male’mu akan mengikuti kemauanmu. Tapi janganlah kau terjerumus pada
tujuan yang merusak akidah dan akhlakmu.
Nak. Dijakarta
kau jangan sampai melukai seseorang apalagi hatinya. Rendahkan hatimu didepan
orang yang lebih tua. Dan jauhkan kesombonganmu saat kau berhadapan dengan
orang yang lebih muda darimu. Pegang teguh selalu Al-Qur’an dan hadis nabi.
Jangan kau tergoda dengan kehidupan yang terlihat menyenangkan padahal itu akan
membawamu pada kesengsaraan. Jangan pula kau bermain dengan perempuan. Karena
sungguh perempuan itu menjerumuskanmu kelembah hitam jika kau tak berhati hati.
Bersahabatlah dengan orang yang selalu mengingatkanmu pada kebaikan dan mencegahmu
dari kemungkaran. Dan jangan kau nodai kepercayaan yang diberikan untukmu. Jaga
selalu budaya Siri’na Pacce. Budaya itulah yang akan mengingatkanmu bahwa kau
adalah seorang perantau dari tanah Mangkasara. Jangan coreng nama itu.
Aaah. Maafkan
male,mu yang terlalu cerewet ini. Male’mu selalu saja lupa bahwa kau sudah
dewasa. Dan male’mu mengucapkan maaf lagi. Karena, baru pertama kali ini selama
setahun male’mu mengirimkan surat yang mungkin membuatmu bersedih. Karena
male’mu hanya bisa mengirimkan kau uang yang jumlahnya sangat sedikit itu.
Maafkan male’mu lagi nak. Mungkin setelah ini male’mu tak akan lagi mengirimkan
surat seperti ini. aku tak ingin lagi mengganggumu setelah ini . Fokuslah untuk
mengejar cita cita yang selalu kau ucapkan ke male’mu. Jadilah Aristoteles itu
yang male’mu sama sekali tidak mengenalnya. Tapi aku yakin anakku akan menjadi
seorang pendiri Negara yang meluruskan bangsa. Nak. aku akan selalu bersamamu.
Janganlah kau terlalu rindu dengan male’mu hingga membuatmu terganggu. Male’mu
sudah mengatakan bahwa aku meridhoi kepergianmu. Sekali lagi male’mu sangat
menyayangimu. Sangat menyayangimu.
Ini inti pesan
male’mu. selalulah menjaga sholatmu. Dan male’mu meminta dengan sangat.
hiduplah dengan alqur’an ditangan kananmu dan Hadis ditangan kirimu. Tuhan ada
dihatimu dan Tuhan ada diakalmu. Ahh. Male’mu ini terlalu banyak mengguruimu.
Itu karena male’mu sangat menyayangimu nak.
Aku akhiri saja
surat ini. Masih banyak yang ingin male’mu katakan kepadamu. Tapi male’mu tidak
ingin terlalu banyak membebanimu. Hiduplah dengan tenang disana. Jangan pulang
kalau janjimu tidak engkau bayar ke male’mu. Jangan pulang sebelum kau
mendaptkan hasil. Jangan khawatir nak. Mimpi itu pasti akan menjadi kenyataan.
Tidak ada mimpi yang besar hanya saja kitalah yang merasa kecil.
Ahh. Male’mu
benar benar cerewet nak. Male’mu akhiri surat ini sajalah. Dengan doa al
Fatihah untukmu nak. Dan balaslah dengan selalu membacakan male’mu doa al Mulk
setelah kau melaksanakan sholat magrib.
Nak male’mu
rasanya tidak ingin mengakhiri surat ini. aku terlalu cengeng. Tapi male’mu
sungguh sangat menyayangimu. Maafkan semua kesalahan yang pernah male’mu
perbuat untukmu. Apakah ketika mal’mbu memarahimu atau ketika male’mu
memerintahkanmu. Maafkan semua kelakuan male’mu yang membuat hatimu sakit. Itu
semua male’mu lakukan karena male’mu sangat sayang padamu. Maafkan male’mu nak.
Ya tuhan lindungilah anakku.
Salam terkasih
untuk anak male yang ganteng.
Male’mu.
Huhh. Aku
menghela nafas. Untuk mengendalikan diriku agar kuat menghadapi situasi seperti
ini. Surat dari ibuku benar- benar membuatku terpaku dalam kesedihan. Kata kata
male’ku bagai sebuah pana yang langsung menancap dihatiku. Aku tak berdaya
dalam tangis. Air mataku bercucuran. Hidungku beringus dan aku aku terus
terisak dalam setiap nafasku. Tapi kata male’ku aku harus kuat dan janganlah
engkau meridukan male’mu. Membuatku ingat aku harus mengendalikan diriku.
Aku meraih
sebuah kertas portofolio disamping kananku. Diatas sebuah rak buku sederhana. Kuambil
pula sebuah pulpen didalam tas. Dan aku mulai menulis surat balasan untuk surat
ibuku dalam keadaan menangis. Kumulai dengan bismillah.
Assalamu alikum
Wr Wb.
Salam seribu
kecupan untuk male’ku.
Bagaimana
kabarmu male’ku yang cantik. Male’ harus selalu menjaga kesehatan. Karena
anakmu tidak ingin mendapati male’ dalam keadaan sakit ketika anakmu pulang.
Engkau yang terindah male’. Anakmu selalu medoakanmu disetiap sholatnya. Dan
anakmu akan menambahkan doanya dengan membaca surh Al-Mulk. Insyaallah.
Male’
Surat yang
engkau buat sungguh sangatlah indah male’. Anakmu selalu saja ingin mengulangi
membacanya berkali kali. ajaran yang male’ sampaikan kepadaku. Akan anakmu
jadikan pedoman untuk menjalani hidup diperantauan. Ajaran yang sungguh sangat
mempesona. Hingga membuat hati ini rasanya melayang-layang. Terlalu Indah
male’.
Male’
Maafkan anakmu,
karena aku sudah sangat merepotkanmu. Anakmu sungguh tak ingin sedikitpun
membuatmu susah. Uang yang engkau kirimkan jauh dari kata sedikit. Ini sungguh
terlalu banyak male’. Anakmu merasa sangat gembira sekaligus sedih karena uang
yang male’ tabung selama ini. Harus diberikan kepadaku. Padahal mele’ pasti
juga membutuhkan uang itu. Tapi apalah daya anakmu ini untuk menolaknya. Anakmu
tidak ingin menodai ketulusan hati seorang ibu. Beribu kata terima kasih yang
sangat besar. Anakmu tuliskan didalam surat ini.
Male’
Aku sangat
merindukan dirimu male’. Rasanya anakmu ingin pulang dan memelukmu dengan erat.
Tapi male’ mengingatkanku untuk terus disini selama mimpiku belum kenyataan.
Maka aku akan teguh berdiri ditanah perantauan. Engkau benar-benar cintaku yang
paling aku cintai. Dan aku berjanji akan pulang dengan nama yang harum. Aku
berada disin,i itu semua hanya untukmu male’. Kekayaan, kebahagiaan, kesenangan,
kenikmatan dan kedekatan akan anakmu bawa pulang sebagai ole-ole dari
perantauan. Dan aku berjanji male’.
Male’
Sesuai dengan permintaanmu.
Akan kujadikan al-Qur’an dan hadis bukan hanya kusimpan ditangan kanan dan
kiriku tapi akan kutanam diseluruh tubuhku. Hingga aku berpakaian dengannya. Aku
berjalan dengannya. Aku berkata dengannya. Aku tertawa dengannya. Bahkan, aku
tertidur dengannya. Aku juga sudah memiliki sahabat sesuai permintaanmu. Yang
Ma’ruf nahi mungkar. Dan aku juga tak akan mempermainkan perempuan. Juga tak
akan bermain dengannya. Sesuai pesan ibu. Tapi ada satu orang yang membuat
anakmu jatuh cinta. Dan akan anakmu perkenalkan nanti saat tiba waktunya. Hahaha.
Tidak usah khawatir male’. Perempuan ini insyaallah akan aku jaga baik baik.
Aku tidak akan terlalu dekat dengannya hingga aku melupakan batas tuhan. Aku
akan selalu mengingat pesanmu. Perempuan bukan lah sebuah permainan. Maka
seriuslah. Satu hal lagi male’. Mengenai budaya siri’na pace akan anakmu
pegangi sampai mati dan tak akan kucoreng nama besar tanah bugis Makassar
sedikitpun sebagaimana yang pernah male’ katakan dari ayah “ Junjunglah nama
bugis Makassar dimanapun kau berada. Jagalah nama itu dengan al Qur’an dan
hadis. Bawalah mati nama kebesaran butta jumpandang.” Ini akan aku pegang
dengan tangan yang selalu bersih.
Male’
Maaf lagi
kuucapkan berjuta-juta kali. Dan male janganlah meminta maaf kapadaku. Semua
kesalahan yang male’ lakukan adalah sebuah kebaikan. Male’ adalah ibu yang
sempurna hingga anaknya tak pernah sama sekali merasakan kesedihan. Selama diri
ini hidup dalam dekapan male’ yang ada hanyalah sebuah kasih sayang yang sangat
besar aku rasakan. Hingga itu membuat anakmu merindukan itu male’. Dekapanmu,
senyumanmu yang manis. wajahmu yang tulus lagi cantik. Suaramu yang tak pernah
keras. Lembut dan begitu merdu. Semua itu yang membuat hati ini ibu amat
merindukan dirimu. Tapi sekali lagi anakmu tidak akan kembali sebelum mimpi
jadi kenyataan. Maaf kekeras kepalaan anakmu male’.
Male’
Sekali lagi
anakmu mengucapkan maaf berulang ulang kali. Rasanya tak ingin kuakhiri surat
balasan ini. Anakmu ingin mengatakan dan meyakinkan male’. Agar jangan
mengkhawatirkan anakmu. Anakmu akan sehat selama ibu mendoakanku sehat. Anakmu
akan selalu sholat. Anakmu akan selalu berdoa untukmu hingga membuat Tuhan
tuli. Insyaallah.
Male’.
Ini pesan
terakhirku. Aku sangat berharap balasan male’. Senantiasalah male’ memberiku
kabar. Agar aku selalu tahu keadaan male’ diMakassar. Biarlah kita hidup
berjauhan male’. Tapi hati kita tetaplah selalu terhubung dekat. Aku
mencintaimu male’. Dan kuharap engkau juga mencitaiku male’. Balaslah surat ini
male’. Anakmu akan menunggu surat balasan darimu. Satu kalimat pesan terakhir
dari anakmu. Janganlah male’ terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Begitu
selesai mengajar berantailah male’ dirumah. Uang yang aku kirimkan ke male
memang sangatlah sedikit. Tapi aku akan selalu berusaha untuk membantumu male’.
Aku juga sudah mendapat pekerjaan sebagai seorang pengantar Koran. Gajinya
memang sedikit tapi insyaallah akan anakmu bagi untukmu. Mulai dari sekarang
male’ janganlah male’ mengirimkanku uang. Pakailah uang itu male untuk
keperluan male di rumah. Sungguh anakmu dapat menghidupi dirinya sendiri male’.
Male’
Kuakhirilah
surat balasan ini beriringan doa “ Allahummagfirli wali walidayya warhamhuma
kama rabbayani sagira.”. mudah mudahan male’ku yang tercinta selalu sehat. Dan
male’ harus berjanji untuk menjaga kesehatan male’. Tunggulah anakmu akan
pulang sebentar lagi male’. Sabar yah male’.
Salam beribu
pelukan dan kecupan untuk male’ku yang paling cantik.
Jakarta. 15
September 1995.
Anakmu. Nurdin
binti Doraman.
Lega rasanya
telah menyelesaikan surat balasan untuk male’ku. Semua tangis yang telah keluar
mala mini menjadi penyemangat hari esok. Sunggu saat- saat yang dramatis. Aku
simpan srat ibuku didalam buku tebal bersama surat balasan dariku yang sudah
terlipat rapi didalam amplop bersama dengan uang kihajar dewantara ( 10.000 ).
Aku tertidur diatas sebuah kasur yang tidak empuk.
Matahri yang
cerah meyambut diufuk timur. Matahari itu teralu lambat terbangun. Aku lebih
dulu menyongsong hari ini. Bangun pada saat ayam disamping kos sedang
bernyanyi. Lalu kulaksanakan sholat subuh. Kemudian mandi dengan air yang
sangat dingin. Berpakaian dengan rapi. Hari ini adalah hari minggu yang cerah.
Aku akan berkunjung kerumah Daeng Sija untuk meminta tolong membawakan surat
balasan dariku. Hari ini daeng sija memang akan kembali lagi ke Makassar.
Pekerjaannya sebagai pedagang pakaian membuatnya hilir mudik Jakarta-Makassar.
Kuraih surat balasan itu. Aku simpan baik baik didalam buku yang kemudian
kusimpan lagi didalam tas. Kujaga baik baik surat itu seperti menjaga sebuah
barang yang sangat berharga.dan memang surat itu sangatlah berharga.
Hampir jam
7.00. mungkin kurang lima menit jarum pendek dijam tangan tuaku menunjukkan
waktu itu. Aku tiba dirumah Daeng sija yang terlihat juga sudah berpakaian rapi
membawa bungkuan besar yang sangat banyak. Nampaknya sebentar lagi dia akan
berangkat kepelabuhan.
Aku uapkan
salam. Dan daeng sija berbalik kearahku yang sedang sibuk membetulkan semua
barang bawaannya.
“ daeng sudah
mau berangkat ke pelabuhan?.” Tanyaku dengan sopan.
“ eh kau
Nurdin. Masuk sini nak.” Jawab daeng Sija menyruhku duduk disampingnya. Lalu
aku ikut membantu merapikan barang bawaannya. Ketika semua telah rapi baru aku
berbiara lagi.
“ Daeng aku mau
minta tolong sama Daeng?” Ucapku dengan nada iba.
“ kamu mau minta
tolong apa nak?” Tanya daeng sija yang menyeka keringat didahinya.
“ berikan surat
ini kemale’ku daeng di Makassar?” pintaku dengan penuh pengharapan.
Daeng sija
terdiam. Dan anehnya matanya berkaca-kaca. Ia ingin menangis dan menahan itu.
Lalu memengang pundakku. Dengan berat ia lalu berucap.
“ Nurdin.
Maafkan aku nak. Ini semua permintaan male’mu. Male’mu meminta merahasiakan
semua ini darimu. Male’mu tidak ingin kau bersedih dan terpuruk. Satu minggu
yang lalu male’mu menghembuskan nafas terakhirnya dan ia meninggal dalam
keadadaan tenang. Tidak ada penyakit yang dideritanya. Mendadak kematian
menjemput male’mu. Tidak ada yang mau memberitahukan semua ini. Karena male’mu
yang meminta untuk merahasiakan ini darimu nak. Tapi aku tidak ingin berbohong
padamu. Kau harus tahu ini dan kau harus kuat menghadapi cobaan ini. Biarlah
ibumu tenang. Dan kau lanjutkan kehidupanmu. Masa depanmu masih panjang. Dan
itulah yang diinginkan male’mu. Tegarlah nak” Daeng sija menangis menceritakan
itu.
Aku terdiam.
Terpaku. Membeku. Tidak ada yang bisa aku katakan. Aku menangis
sekeras-kerasnya. Dan berteriak male’. Semua air mata tumpah dan mebanjiri bumi
ini. Informasi yang sungguh membuat bbirku bergetar. Hatiku sangat sakit.
Berita ini adalah berita yang tidak ingin aku tahu. Tapi apalah daya.
terlanjur. Dan kusambut berita itu dengan keterpurukan dalam tangisan.
Terbayanglag wajah male’ku yang cantik.terbayanglah pelukan male’ku yang
hangat. Terbayanglag masa kecil saat male’ku menggendongku kemana-mana.
Terbaynglah tawa dari male’ku yang sungguh sangat ikhlas. Terbayanglah semua
masa-masa indah bersama male’ku. “secepat inikah engkau male’ meninggalkan
anakmu”. Terjadi begitu saja dan begitu cepat. Beberapa kali daeng Sija
menepuk-nepuk pundakku mengatakan “kuatlah nak”. Api aku melihat daeng Sija
ikut menangis. Aku meraih surat yang aku tulis. Lau kuberikan dengan tangan
tyang bergeta. Kuberikan pada daeng Sija.
“ berikan ini
pada male’ku Daeng. Tak apalah surat ini tidak akan terbalas. Berikan surat ini
dikuburan male’ku. Aku sangat berharap bantuanmu daeng.” Ucapku dengan
terbata-bata. Sungguh sangat berat untuk berucap.
The end.