Jumat, 12 Desember 2014

CERPEN ( SURAT UNTUK MALE'. TAK TERBALAS )



Surat Untuk Male’. Tak terbalas
Karya : Summum Bonun

Ketika kehadiran seorang Ibu tak ada disamping kita. Saat diri sedang bersedih seolah mata juga akan terasa buta. Ketika Ibu tak ada disamping kita saat kita butuh pelukan hangatnya. Seolah –olah tubuh ini kan remuk pecah berkeping keping. Ibuku jauh disana di tanah Jum Pandang. sering kupanggil dengan sebutan yang mesra “ Male’ ”.
Aku terlalu jauh dari male’ku. Sudah sangat terlalu jauh. Hingga air susunya yang mengalir bersama darahku seolah mendidih dipanaskan oleh api rindu. Sudah setahun ini aku terasing di tanah perantuan. Terlalu lama sudah aku merasakan ikatan dekapan Male’ku. Begitu terlepas kesepian itu terasa sangat menusuk hatiku. Tapi kedewasaan memaksaku untuk hidup jauh dari kasih sayang seorang Ibu. Budaya siri’na Pacce memaksaku membulatkan tekad dan menyimpan semua rasa rindu yang bergelora itu di dalam hati. Aku akan merasa tak pantas dikatakan sebagai seorang anak bugis Makassar bila terlanjur mengembangkan layar lalu urung kembali. Kurasa lebih baik aku mati ditanah rantau menjadi santapan nikmat cacing cacing tanah dari pada harus pulang dengan tangan kosong dan kantong yang hampa.
Disinilah diriku saat ini. Di dalam ruangan berukuran kamar mandi hotel. Menyendiri didalamnya ruang yang berukuran tiga kali empat meter. Biasa orang menyebut “ KOS”dan memang itulah namanya. Diriku berada ditanah betawi. Ibukota Indonesia untuk menerapkan peribahasa yang mengatakan “menuntutlah ilmu sampai kenegeri Cina”. Membulatkan tekadku untuk membuat mimpiku sebagai seorang Filosof sekaliber Aristoteles menjadi sebuah kenyataan. Meninggalkan semua kenyamanan hidup bersama male’ku dikampung halaman. Setidaknya seperti itu.
Saat matahari akan kembali keperaduannya. Tenggelam di barat. Aku berkunjung kerumah Daeng Sija yang terhitung sebagai keluarga dekat. Ia adalah sepupu ibuku. Kemarin Daeng Sija baru saja pulang dari butta Jum Pandang dan ia membawa kiriman sebuah Amplop dari Ibuku, untukku. Kutanyakan kepada daeng Sija. Bagimanakah kabar Ibuku? dan ia tersenyum lebar, agak aneh kelihatan karena matanya berkaca kaca dan menjawab Ibumu baik baik saja. Tidak lama aku bertamu dirumah Daeng Sija. Aku tidak sabar ingin cepat membuka Amplop itu di kos. Kuhabiskan cepat segelas Sarabba yang masih panas dan tiga buah sanggara yang baru saja diangkat dari minyak panas. Membuat tenggorkanku terasa ingin terbakar. Tapi rasa panas hatiku yang dibakar oleh api rindu lebih menyiksaku. Aku berpamitan ke Daeng Sija dan berterima kasih atas jamuan yang sangat nikmat itu.
Aku baru saja tiba keKosanku. Pas saat adzan Isya berkumandang  bersama berkumandangnya pula suara suara demonstran ditengah jalan. Berjuang menurunkan rezim orde baru. Mungkin sebentar lagi perjuangan mereka akan memperlihatkan hasilnya.
Begitu selesai Shalat Isya ku dirikan. Semua tangis yang tersimpan di mataku bersama kerinduan tumpah semuanya. Masih diriku berada diatas sajadah panjang yang sudah kusut. Memakai sarung dan songkok bugis. Aku pandangi amplop putih yang masih berbau lem. Kubuka pelan pelan. Diamplop itu tertulis jelas tulisan yang sangat Indah memakai tinta hitam yang sangat jelas terukir disana sebuah kata “ Male’mu yang tersayang”.
Begitu terbuka aku mendapati selembar uang Soekarno Hatta yang masih baru. Dan itu uang yang jumlahnya sudah terlalu banyak. aku benar benar tidak bisa berhenti merepotkan Male’ku. Aku sudah sangat terlalu jauh darinya tapi Male’ku masih saja selalu bekerja keras untukku. Aku tahu uang itu adalah hasil tabungannya selama delapan bulan dari mengajar sebagai seorang guru agama yang tidak pernah digaji. Dan begitu pulang dari mengajar Male’ku berganti kostum. menjadi seorang pencuci piring. Berkeliling kerumah-rumah tetangga dan terakhir kewarung coto Makassar. Male’ku tahu saja bagaimana membuat anaknya bersedih. Tangis mulai bercucuran dipinggir Mataku yang mulai panas dan hatiku berdebar debar.
Disamping uang itu aku melihat secarcik kertas buku bergaris yang terlipat dua kali. Lalu kubuka perlahan lipatan itu dan terlihatlah tulisan yang yang berbentuk paragraf memenuhi satu halaman kertas. Aku tahu ini adalah sebuah surat. Kubaca dari awal dengan begitu menghayati.


 Male’mu yang tersayang.
Assalamu Alaikum Wr Wb.
Salam kecupan dari Male’mu
Anakku yang tercinta. Bagaimana kabarmu. Ibu selalu mendoakan kamu agar selalu dalam perlindungan Allah. Male’mu juga selalu mendoakan dirimu disetiap sholat ibu. Meminta kepada Yang Kuasa agar anak Male’ bisa menjadi seorang penegak tiang Agama dan pengada perdamaian umat. Ah. Mungkin doa male’mu terlalu tinggi .iya kan nak. Tapi nak itu yang male’mu inginkan .jika kau tak menyukainya. tak apalah, male’mu akan mengikuti kemauanmu. Tapi janganlah kau terjerumus pada tujuan yang merusak akidah dan akhlakmu.
Nak. Dijakarta kau jangan sampai melukai seseorang apalagi hatinya. Rendahkan hatimu didepan orang yang lebih tua. Dan jauhkan kesombonganmu saat kau berhadapan dengan orang yang lebih muda darimu. Pegang teguh selalu Al-Qur’an dan hadis nabi. Jangan kau tergoda dengan kehidupan yang terlihat menyenangkan padahal itu akan membawamu pada kesengsaraan. Jangan pula kau bermain dengan perempuan. Karena sungguh perempuan itu menjerumuskanmu kelembah hitam jika kau tak berhati hati. Bersahabatlah dengan orang yang selalu mengingatkanmu pada kebaikan dan mencegahmu dari kemungkaran. Dan jangan kau nodai kepercayaan yang diberikan untukmu. Jaga selalu budaya Siri’na Pacce. Budaya itulah yang akan mengingatkanmu bahwa kau adalah seorang perantau dari tanah Mangkasara. Jangan coreng nama itu.
Aaah. Maafkan male,mu yang terlalu cerewet ini. Male’mu selalu saja lupa bahwa kau sudah dewasa. Dan male’mu mengucapkan maaf lagi. Karena, baru pertama kali ini selama setahun male’mu mengirimkan surat yang mungkin membuatmu bersedih. Karena male’mu hanya bisa mengirimkan kau uang yang jumlahnya sangat sedikit itu. Maafkan male’mu lagi nak. Mungkin setelah ini male’mu tak akan lagi mengirimkan surat seperti ini. aku tak ingin lagi mengganggumu setelah ini . Fokuslah untuk mengejar cita cita yang selalu kau ucapkan ke male’mu. Jadilah Aristoteles itu yang male’mu sama sekali tidak mengenalnya. Tapi aku yakin anakku akan menjadi seorang pendiri Negara yang meluruskan bangsa. Nak. aku akan selalu bersamamu. Janganlah kau terlalu rindu dengan male’mu hingga membuatmu terganggu. Male’mu sudah mengatakan bahwa aku meridhoi kepergianmu. Sekali lagi male’mu sangat menyayangimu. Sangat menyayangimu.
Ini inti pesan male’mu. selalulah menjaga sholatmu. Dan male’mu meminta dengan sangat. hiduplah dengan alqur’an ditangan kananmu dan Hadis ditangan kirimu. Tuhan ada dihatimu dan Tuhan ada diakalmu. Ahh. Male’mu ini terlalu banyak mengguruimu. Itu karena male’mu sangat menyayangimu nak.

Aku akhiri saja surat ini. Masih banyak yang ingin male’mu katakan kepadamu. Tapi male’mu tidak ingin terlalu banyak membebanimu. Hiduplah dengan tenang disana. Jangan pulang kalau janjimu tidak engkau bayar ke male’mu. Jangan pulang sebelum kau mendaptkan hasil. Jangan khawatir nak. Mimpi itu pasti akan menjadi kenyataan. Tidak ada mimpi yang besar hanya saja kitalah yang merasa kecil.
Ahh. Male’mu benar benar cerewet nak. Male’mu akhiri surat ini sajalah. Dengan doa al Fatihah untukmu nak. Dan balaslah dengan selalu membacakan male’mu doa al Mulk setelah kau melaksanakan sholat magrib.
Nak male’mu rasanya tidak ingin mengakhiri surat ini. aku terlalu cengeng. Tapi male’mu sungguh sangat menyayangimu. Maafkan semua kesalahan yang pernah male’mu perbuat untukmu. Apakah ketika mal’mbu memarahimu atau ketika male’mu memerintahkanmu. Maafkan semua kelakuan male’mu yang membuat hatimu sakit. Itu semua male’mu lakukan karena male’mu sangat sayang padamu. Maafkan male’mu nak.
 Ya tuhan lindungilah anakku.
Salam terkasih untuk anak male yang ganteng.

Male’mu.
Huhh. Aku menghela nafas. Untuk mengendalikan diriku agar kuat menghadapi situasi seperti ini. Surat dari ibuku benar- benar membuatku terpaku dalam kesedihan. Kata kata male’ku bagai sebuah pana yang langsung menancap dihatiku. Aku tak berdaya dalam tangis. Air mataku bercucuran. Hidungku beringus dan aku aku terus terisak dalam setiap nafasku. Tapi kata male’ku aku harus kuat dan janganlah engkau meridukan male’mu. Membuatku ingat aku harus mengendalikan diriku.
Aku meraih sebuah kertas portofolio disamping kananku. Diatas sebuah rak buku sederhana. Kuambil pula sebuah pulpen didalam tas. Dan aku mulai menulis surat balasan untuk surat ibuku dalam keadaan menangis. Kumulai dengan bismillah.





Assalamu alikum Wr Wb.
Salam seribu kecupan untuk male’ku.
Bagaimana kabarmu male’ku yang cantik. Male’ harus selalu menjaga kesehatan. Karena anakmu tidak ingin mendapati male’ dalam keadaan sakit ketika anakmu pulang. Engkau yang terindah male’. Anakmu selalu medoakanmu disetiap sholatnya. Dan anakmu akan menambahkan doanya dengan membaca surh Al-Mulk. Insyaallah.


Male’
Surat yang engkau buat sungguh sangatlah indah male’. Anakmu selalu saja ingin mengulangi membacanya berkali kali. ajaran yang male’ sampaikan kepadaku. Akan anakmu jadikan pedoman untuk menjalani hidup diperantauan. Ajaran yang sungguh sangat mempesona. Hingga membuat hati ini rasanya melayang-layang. Terlalu Indah male’.
Male’
Maafkan anakmu, karena aku sudah sangat merepotkanmu. Anakmu sungguh tak ingin sedikitpun membuatmu susah. Uang yang engkau kirimkan jauh dari kata sedikit. Ini sungguh terlalu banyak male’. Anakmu merasa sangat gembira sekaligus sedih karena uang yang male’ tabung selama ini. Harus diberikan kepadaku. Padahal mele’ pasti juga membutuhkan uang itu. Tapi apalah daya anakmu ini untuk menolaknya. Anakmu tidak ingin menodai ketulusan hati seorang ibu. Beribu kata terima kasih yang sangat besar. Anakmu tuliskan didalam surat ini.
Male’
Aku sangat merindukan dirimu male’. Rasanya anakmu ingin pulang dan memelukmu dengan erat. Tapi male’ mengingatkanku untuk terus disini selama mimpiku belum kenyataan. Maka aku akan teguh berdiri ditanah perantauan. Engkau benar-benar cintaku yang paling aku cintai. Dan aku berjanji akan pulang dengan nama yang harum. Aku berada disin,i itu semua hanya untukmu male’. Kekayaan, kebahagiaan, kesenangan, kenikmatan dan kedekatan akan anakmu bawa pulang sebagai ole-ole dari perantauan. Dan aku berjanji male’.
Male’
Sesuai dengan permintaanmu. Akan kujadikan al-Qur’an dan hadis bukan hanya kusimpan ditangan kanan dan kiriku tapi akan kutanam diseluruh tubuhku. Hingga aku berpakaian dengannya. Aku berjalan dengannya. Aku berkata dengannya. Aku tertawa dengannya. Bahkan, aku tertidur dengannya. Aku juga sudah memiliki sahabat sesuai permintaanmu. Yang Ma’ruf nahi mungkar. Dan aku juga tak akan mempermainkan perempuan. Juga tak akan bermain dengannya. Sesuai pesan ibu. Tapi ada satu orang yang membuat anakmu jatuh cinta. Dan akan anakmu perkenalkan nanti saat tiba waktunya. Hahaha. Tidak usah khawatir male’. Perempuan ini insyaallah akan aku jaga baik baik. Aku tidak akan terlalu dekat dengannya hingga aku melupakan batas tuhan. Aku akan selalu mengingat pesanmu. Perempuan bukan lah sebuah permainan. Maka seriuslah. Satu hal lagi male’. Mengenai budaya siri’na pace akan anakmu pegangi sampai mati dan tak akan kucoreng nama besar tanah bugis Makassar sedikitpun sebagaimana yang pernah male’ katakan dari ayah “ Junjunglah nama bugis Makassar dimanapun kau berada. Jagalah nama itu dengan al Qur’an dan hadis. Bawalah mati nama kebesaran butta jumpandang.” Ini akan aku pegang dengan tangan yang selalu bersih.
Male’
Maaf lagi kuucapkan berjuta-juta kali. Dan male janganlah meminta maaf kapadaku. Semua kesalahan yang male’ lakukan adalah sebuah kebaikan. Male’ adalah ibu yang sempurna hingga anaknya tak pernah sama sekali merasakan kesedihan. Selama diri ini hidup dalam dekapan male’ yang ada hanyalah sebuah kasih sayang yang sangat besar aku rasakan. Hingga itu membuat anakmu merindukan itu male’. Dekapanmu, senyumanmu yang manis. wajahmu yang tulus lagi cantik. Suaramu yang tak pernah keras. Lembut dan begitu merdu. Semua itu yang membuat hati ini ibu amat merindukan dirimu. Tapi sekali lagi anakmu tidak akan kembali sebelum mimpi jadi kenyataan. Maaf kekeras kepalaan anakmu male’.
Male’
Sekali lagi anakmu mengucapkan maaf berulang ulang kali. Rasanya tak ingin kuakhiri surat balasan ini. Anakmu ingin mengatakan dan meyakinkan male’. Agar jangan mengkhawatirkan anakmu. Anakmu akan sehat selama ibu mendoakanku sehat. Anakmu akan selalu sholat. Anakmu akan selalu berdoa untukmu hingga membuat Tuhan tuli. Insyaallah.
Male’.
Ini pesan terakhirku. Aku sangat berharap balasan male’. Senantiasalah male’ memberiku kabar. Agar aku selalu tahu keadaan male’ diMakassar. Biarlah kita hidup berjauhan male’. Tapi hati kita tetaplah selalu terhubung dekat. Aku mencintaimu male’. Dan kuharap engkau juga mencitaiku male’. Balaslah surat ini male’. Anakmu akan menunggu surat balasan darimu. Satu kalimat pesan terakhir dari anakmu. Janganlah male’ terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Begitu selesai mengajar berantailah male’ dirumah. Uang yang aku kirimkan ke male memang sangatlah sedikit. Tapi aku akan selalu berusaha untuk membantumu male’. Aku juga sudah mendapat pekerjaan sebagai seorang pengantar Koran. Gajinya memang sedikit tapi insyaallah akan anakmu bagi untukmu. Mulai dari sekarang male’ janganlah male’ mengirimkanku uang. Pakailah uang itu male untuk keperluan male di rumah. Sungguh anakmu dapat menghidupi dirinya sendiri male’.
Male’

Kuakhirilah surat balasan ini beriringan doa “ Allahummagfirli wali walidayya warhamhuma kama rabbayani sagira.”. mudah mudahan male’ku yang tercinta selalu sehat. Dan male’ harus berjanji untuk menjaga kesehatan male’. Tunggulah anakmu akan pulang sebentar lagi male’. Sabar yah male’.



Salam beribu pelukan dan kecupan untuk male’ku yang paling cantik.


Jakarta. 15 September 1995.
Anakmu. Nurdin binti Doraman.
Lega rasanya telah menyelesaikan surat balasan untuk male’ku. Semua tangis yang telah keluar mala mini menjadi penyemangat hari esok. Sunggu saat- saat yang dramatis. Aku simpan srat ibuku didalam buku tebal bersama surat balasan dariku yang sudah terlipat rapi didalam amplop bersama dengan uang kihajar dewantara ( 10.000 ). Aku tertidur diatas sebuah kasur yang tidak empuk.
Matahri yang cerah meyambut diufuk timur. Matahari itu teralu lambat terbangun. Aku lebih dulu menyongsong hari ini. Bangun pada saat ayam disamping kos sedang bernyanyi. Lalu kulaksanakan sholat subuh. Kemudian mandi dengan air yang sangat dingin. Berpakaian dengan rapi. Hari ini adalah hari minggu yang cerah. Aku akan berkunjung kerumah Daeng Sija untuk meminta tolong membawakan surat balasan dariku. Hari ini daeng sija memang akan kembali lagi ke Makassar. Pekerjaannya sebagai pedagang pakaian membuatnya hilir mudik Jakarta-Makassar. Kuraih surat balasan itu. Aku simpan baik baik didalam buku yang kemudian kusimpan lagi didalam tas. Kujaga baik baik surat itu seperti menjaga sebuah barang yang sangat berharga.dan memang surat itu sangatlah berharga.
Hampir jam 7.00. mungkin kurang lima menit jarum pendek dijam tangan tuaku menunjukkan waktu itu. Aku tiba dirumah Daeng sija yang terlihat juga sudah berpakaian rapi membawa bungkuan besar yang sangat banyak. Nampaknya sebentar lagi dia akan berangkat kepelabuhan.
Aku uapkan salam. Dan daeng sija berbalik kearahku yang sedang sibuk membetulkan semua barang bawaannya.
“ daeng sudah mau berangkat ke pelabuhan?.” Tanyaku dengan sopan.
“ eh kau Nurdin. Masuk sini nak.” Jawab daeng Sija menyruhku duduk disampingnya. Lalu aku ikut membantu merapikan barang bawaannya. Ketika semua telah rapi baru aku berbiara lagi.
“ Daeng aku mau minta tolong sama Daeng?” Ucapku dengan nada iba.
“ kamu mau minta tolong apa nak?” Tanya daeng sija yang menyeka keringat didahinya.
“ berikan surat ini kemale’ku daeng di Makassar?” pintaku dengan penuh pengharapan.
Daeng sija terdiam. Dan anehnya matanya berkaca-kaca. Ia ingin menangis dan menahan itu. Lalu memengang pundakku. Dengan berat ia lalu berucap.
“ Nurdin. Maafkan aku nak. Ini semua permintaan male’mu. Male’mu meminta merahasiakan semua ini darimu. Male’mu tidak ingin kau bersedih dan terpuruk. Satu minggu yang lalu male’mu menghembuskan nafas terakhirnya dan ia meninggal dalam keadadaan tenang. Tidak ada penyakit yang dideritanya. Mendadak kematian menjemput male’mu. Tidak ada yang mau memberitahukan semua ini. Karena male’mu yang meminta untuk merahasiakan ini darimu nak. Tapi aku tidak ingin berbohong padamu. Kau harus tahu ini dan kau harus kuat menghadapi cobaan ini. Biarlah ibumu tenang. Dan kau lanjutkan kehidupanmu. Masa depanmu masih panjang. Dan itulah yang diinginkan male’mu. Tegarlah nak” Daeng sija menangis menceritakan itu.
Aku terdiam. Terpaku. Membeku. Tidak ada yang bisa aku katakan. Aku menangis sekeras-kerasnya. Dan berteriak male’. Semua air mata tumpah dan mebanjiri bumi ini. Informasi yang sungguh membuat bbirku bergetar. Hatiku sangat sakit. Berita ini adalah berita yang tidak ingin aku tahu. Tapi apalah daya. terlanjur. Dan kusambut berita itu dengan keterpurukan dalam tangisan. Terbayanglag wajah male’ku yang cantik.terbayanglah pelukan male’ku yang hangat. Terbayanglag masa kecil saat male’ku menggendongku kemana-mana. Terbaynglah tawa dari male’ku yang sungguh sangat ikhlas. Terbayanglah semua masa-masa indah bersama male’ku. “secepat inikah engkau male’ meninggalkan anakmu”. Terjadi begitu saja dan begitu cepat. Beberapa kali daeng Sija menepuk-nepuk pundakku mengatakan “kuatlah nak”. Api aku melihat daeng Sija ikut menangis. Aku meraih surat yang aku tulis. Lau kuberikan dengan tangan tyang bergeta. Kuberikan pada daeng Sija.
“ berikan ini pada male’ku Daeng. Tak apalah surat ini tidak akan terbalas. Berikan surat ini dikuburan male’ku. Aku sangat berharap bantuanmu daeng.” Ucapku dengan terbata-bata. Sungguh sangat berat untuk berucap.










The end.

Jumat, 21 November 2014

Puisi Tenri oh Tenri







TENRI OH TENRI
Ouh Tenri.
rambutmu Tenri diterjang angin.
hatiku ini terbangki rasanya.
Tenri, ouh Tenri.
kau jemur pakaianmu.
dibelakang rumahku.
wajahmu diterpa sinar mentari.
kuintip lewat jendela.
Tenri. Ouh Kodonge Tenri.
harum farfummu itu.
nasiksa kodong batinku
bedak diwajahmu.
edede nagoda sabarku.
kau berjalan tenri.
keluar dari pintumu.
lewati mataku begitu saja.
kapandi’ kau sudi singgah dihatiku.
Tenri.
janganko pernah tidur sebelum kau panggilki namaku.
seperti diriku Tenri.
kupandang bulan. Kupikirkanki sedeng.
kudengar bunyi jangkrik. Kita’mi sedeng.
nda bisaka’ tidur Tenri.
wajahmu terus terbayang.
kau tahu Tenri.
kau rasakan Tenri.
cintaku hanya untukmu.
selamat malam  tenri.
moga kau mimpi indah.
mentari mendatang.
pagi ini kusapaki’.
tapi kita’ toh.
tersenyumjiki.
tanda apa itu tenri.
maluki’ atau kau telah terpesona dengan kegantenganku.
tak apalah Tenri.
hari ini kau tersenyum.
esoknya kau akan berkata.
kucintaki, kusayangki juga daeng.
Tenri Ijinkan aku menyayangimu.