Kamis, 23 Oktober 2014

PUISI Perempuan kebenaran.



*PEREMPUAN KEBENARAN*


WAJAHMU ESTETIKA
SENYUMMU MACROKOSMOS ALAMI
SINAR MATAMU NATURAL
LIPSTIK BIBIRMU MENGGODA MAWAR METAFISIK
KECANTIKANMU OUH. TEOSENTRIS.TANPA KONOTASI
IRASIONAL PENUH KEAJAIBAN
DIAMMU TEKA TEKI MU’TAZILAH
BICARAMU PHILEIN DAN SHOPOS.
DARI UJUNG KEPALA KE UJUNG KAKI
SISTEMATIS, DIKSI TANGAN TUHAN
TANPA ARGUMEN TERBUKTI DENGAN RADIKS.
OUH PEREMPUAN KEBENARAN
AURAMU. PERTENGKARAN ANTROPOSENTRIS
PENGGOYAH SUFI.
KERANCUAN THEOLOG.
SUBJEKTIF FILOSOF.
OUH PEREMPUAN KEBENARAN.
DIRIMU DARI Ada OLEH Ada DAN UNTUK YANG Ada.

Senin, 20 Oktober 2014

PUISI..."DIA BUKAN DEWA PENYELAMAT"



DIA BUKAN DEWA PENYELAMAT

BY: Mr.M



Dengan kedua kaki kurus.
menginjak jalan berlumpur.
dengan tangan yang kuat.
menyalami para perindu kedamaian.

dialah sang sederhana.
tertawa lebar. Siapa saja.
Petani. Nelayan. Buruh atau para kaum berdasi.
tak pandang bulu.
bagai patung keadilan.

dia bukan dewa penyelamat.
tapi dialah penyelamat.
dia cuman punya nyawa satu.
tapi ada ribuan keberanian diwajahnya.
dia bukan Tuhan. bekerja sendiri.
dia butuh tangan tangan ikhlas.
gotong royong. Saling merangkul.
Sabang sampai Merauke.

inilah hikayat dinegeri dongeng.
inilah ramuan di negeri sekarat.
inilah tarian dipanggung istana rakyat.
inilah syair dibait puisi perindu.

BERSAMANYA.
KITA BANGUN INDONESIA YANG ADIL DAN MAKMUR.

Minggu, 19 Oktober 2014

cerpen "SURGA DIBAWAH KAKI BETA"



SURGA DIBAWAH KAKI BETA


KARYA : Mr M


Para jangkrik melompat dikegelapan malam. Bernyanyi dengan suara nyaring. Rumput rumput ilalang bergoyang dirayu oleh angin dari bulan. Ditengah lapang padang rumput ada sebuah rumah yang terbangun dari papan kayu yang penuh rayap lapar. Dan atap pelepah daun kelapa yang mulai sekarat.
yang hanya memiliki sebuah jendela tempat angin malam bertamu dan sebuah pintu tak berengsel yang menjadi godaan besar bagi para pencuri. Tapi hanya pencuri yang tolol yang mau memasuki rumah ini. Yang didalamnya hanya ada satu ranjang bale bambu, satu kursi, satu meja, satu lemari dari papan sisa rumahnya. Dan satu pelita penerang malam. Dan dua orang Manusia. Ayah dan anaknya yang bertubuh kurus kerontang.
“ beta bangun sudah. Subuh sutiba. Beta supergi saja ambil air.” Bapa Rumere selalu terbangun setelah subuh mulai tiba di luarsana. Pagi pagi sekali dia sudah harus berjalan jauh ketempatnya bekerja untuk membelah batu diatas gunung yang hampir menyentuh langit. Tapi sebelum ia berangkat ia membangunkan anaknya agar segera membersihkan badan untuk berangkat menimba ilmu.
Mereka adalah manusia yang berjuang hidup ditengah kekayaan alam desanya. Nasibnya berdiri diatas emas tapi hanya bisa melihat tanpa pernah bisa menggenggam.
Rumere membasuh wajahnya tanpa air hanya memakai telapak tangannya yang kasar. Air dirumahnya sudah habis lagi. Seperti biasanya Rumere sudah memakai pakaian sekolahnya  meski tubuhnya belum ia bersihkan tanpa ada alas kaki atau sebuah tas, hanya ada sebuah buku usang yang didapatkan ayahnya ditengah jalan. Ini sebuah keharusan yang harus ia jalani. Rumere tak ingin membuang waktunya. Begitu ia mendapati sumber air ia akan melepaskan pakaiannya dan langsung menyeburkan diri disungai itu kemudian mengisi dua cirigen yang ia pikul lalu ia sembunyikan dibalik pohon beringin dipinggir sungai. pakaian sekolah yang ia lepaskan tadi kembali dipakai lalu kembali melanjutkan perjalanan untuk menimba ilmu. Perjuangan panjang untuk mencari air dan mengejar pengetahuan harus ia jalani. Memikul dua cirigen sebesar badannya Melewati padang rumput ilalang yang setinggi badannya yang bisa saja ada hewan buas yang senantiasa mengintainya dibalik rumput itu. Jika lolos  ia akan mendaki pegunungan batu terjal yang bisa saja merenggut nyawanya. kemudian  melewati jembatan gantung yang mulai rapuh.
Di seberang jembatan itulah sekolah idamannya berada. yang tak memiliki pintu tak berjendela tak beratap hanya sebuah pohon mangga yang menjadi pelindung dari teriknya Matahari jika musim hujan datang Rumere akan libur panjang. Dibawah pohon itu hanya ada sebuah bangku kayu panjang untuk tujuh orang.  Seperti biasanya dan hampi setiap hari seperti ini.  Rumere hanya duduk dibangku panjang itu sendirian dengan menopangkan tangannya di dagu memandang dengan mata yang bosan kearah bangku gurunya yang kosong dan papan tulis berdebu yang jarang terlihat tulisan kapur dan sebuah penghapus dari celana dalam robek selalu menganggur. Memperhatikan tujuh temannya yang sedang berkejar kejaran, menari nari seolah sedang merayakan pesta karena sudah kesekian kalinya gurunya absent.
Rumere amat begitu kecewa karena perjuangannya mengeluarkan segenap tenaga melewati perjalanan yang amat panjang untuk menimba Ilmu ternyata hanya sia sia. Tapi Rumere tak pernah sedikitpun berkata “Beta akan berhenti bersekolah”. Semangat untuk merubah hidupnya selalu terkobar didalam dadanya. Ketika gurunya tak hadir untuk mengajarnya dia akan menghayalkan kehidupannya dengan mulut menganga dan tangan yang terus menopang tangannya selama berjam jam sampai matahari berdiri diatas kepalanya. Membayangkan dirinya berpakaian seragam yang rapi dan memiliki sepatu hitam yang berbau kulit dan sebuah kendaraan yang bermesin. Membayangkan desanya memiliki irigasi perairan yang melewati rumah rumah yang membuat warga desanya tersenyum. Dan dia juga membayangkan sekolahnya memiliki plang nama. Sebuah kelas yang bertembok semen beralaskan lantai yang dingin beberapa buah bangku dari kayu yang mengkilap papan tulis kaca yang tembus pandang yang diatasnya ada burung Garuda yang dikawal oleh dua orang pemimpin Negara berwajah lelah.  dan seorang guru yang berdasi. Dia juga akan menghayalkan rumahnya seperti istana. Ayahnya tak usah lagi bangun subuh untuk membelah batu. Cukup dirinya yang bekerja didalam ruangan yang berpendingin. Dia punya banyak mimpi dikepalanya. yang ia tahu bahwa semua mimpi itu tidak akan pernah terwujud tanpa perjuangan serta kesungguhan dari dalam hati yang dipenuhi cinta.
Matahari sudah berdiri diatas kepalanya waktunya ia kembali kesumber air untuk menjemput cirigen yang ia sembunyikan di balik pohon beringin. Perjalanan yang panjang harus kembali ia tempuh. sebelum sampai kesumber air itu, ia harus melewati jembatan gantung yang rapuh lagi. Yang apabila ia terjatuh buaya lapar dibawahnya sudah menunggu. Lalu menuruni bukit batu yang terjal dan licin. Kemudian sampailah ia disumber air sebuah sungai yang disebut orang desa sebagai sungai harapan.
Rumere benar benar marah. Wajahnya memerah, bagaimana tidak, jika ciregen  yang susah payah ia isi dengan kesabaran ternyata hilang satu. Pencuri biadab mana yang rela mengambil harta anak yatim seperti dirinya. Rumere menggelengkan kepalanya ia benar benar emosi. Matanya kemudian melirik kesana kemari mencari pencuri cirigennya. berlari lari mengitari sungai untuk melihat batang hidung pencuri itu. Tapi tidak ada jejak yang ditinggalkan. Rumere yakin ayahnya pasti akan memarahinya.
Dengan wajah yang lesuh dia melanjutkan perjalanan. Membawa sisa satu cirigen yang dipikulnya dipundak. Berhati hati melewati padang rumput. Begitu ia sampai dirumahnya ia ambil lima ember yang berukuran sederhana yang rencananya akan ia isi penuh semuanya. Tapi karena bencana yang ia dapati ditengah jalan mengharuskan lima ember itu hanya terisi dua setengah saja.
“bapa pasti akan memarahi beta. Beta harus bagaimana” Rumere begitu takut. Bukan takut kena marah ayahnya. Tapi Rumere tidak mau sedikitpun mengecewakan ayahnya. Sambil berdiri menyandar dipintu rumahnya. Ia memandang padang rumput luas dihadapannya memikirkan cara bagaimana mengembalikan satu cirigen kesayangan ayahnya.

…………Next. Bersastra dengan cinta( Surga dibawah kaki Beta II)

Jumat, 17 Oktober 2014

PUISI "A NEW HOPE"



A NEW HOPE

BY: Mr.M




dia datang dari langit
membawa air menghujani tanah kerontang.
dia datang dari gesekan element.
mempetir mara mafia.
dia datang dari tanah.
menumbuhkan pohon keragaman.
dia adalah teori anaximenes.
unsur kehidupan Rakyat.
dia adalah Kapiten phinisi.
berlayar kepulau emas.
dia adalah raja
di istana keadilan.
dia adalah the Giant Wall.
tempat duafa bernaung.
dia adalah tongkat Moses
pembelah kesengsaraan.
dia adalah the lord of the ring Solomon
merakyat Sabang sampai Merauke
A NEW HOPE
sebuah harapan baru.
FOR THE NEW INDONESIAN.

Rabu, 15 Oktober 2014

Cerpen Perjuangan



PERJUANGAN
karya: Mr M

Angin angin pagi lembut menggoyangkan batin. Pepohonan masih diam berkeringat. Dedaunannya menangis bahagia menyambut mentari yang mengkilap mewarnai langit yang kemerahan sungguh sangat indah keindahan subuh itu. Bagi si malas yang tak sempat menyaksikan panorama ini. Amatlah ia merugi.
Nurdin adalah anak Makassar yang rajin. Gelar kemalasan akan jauh dari namanya. Rajin adalah harga mati baginya jika ia malas sehari saja berarti ia tidak akan makan hari itu juga. Sebelum keindahan pagi itu tiba. ia telah membelah kegelapan dengan keberaniannya untuk segera bersepeda ke pasar untuk mencari secuil uang dengan menjual sayur dari kebunnya. Untuk membantu kedua orang tuanya yang hidup sengsara akibat ulah para pemberontak.
Hampir setiap hari ia melakukan ini. Tertidur hanya beberapa jam saja. Lalu terbangun ketika matahari masih jauh bersembunyi dibelahan bumi lain. Tapi sekali lagi dia anak Makassar yang tangguh dan pemberani.
Begitu sekarung sayur disepedanya telah ada yang terjual dan matahari sudah menampakkan seluruh tubuhnya. Ia harus segera kembali kerumahnya karena waktu menandakan ia harus pergi kesekolahnya.
Perjalanan menuju sekolahnya amatlah berat. Karena ia harus berjalan kaki berpuluh kilo meter tanpa alas kaki karena sepeda yang ia pakai ke pasar harus juga dipakai ayahnya untuk bersepeda dikebunnya yang tak kalah jauhnya. Dan Nurdin harus membelah semak semak hutan untuk menghindari ular besi(pistol) para pemberontak kala itu. Sebelum ia berangkat kesekolah. Ia telah berpesan kepada ibunya kalau ia akan mati dijalan. Itulah keberaniannya untuk mengorbankan nyawa demi menghilangkan kata kebodohan bagi warga pribumi. Tapi untunglah sampai saat ini takdir belum pernah menghabiskan umurnya.
Begitu pulang dari sekolahnya ia masih harus berjuang. Tak ada kata jeda istirahat. Begitu ia menginjakkan kaki dipintu rumahnya ia segera masuk untuk mengganti pakaiannya. Lalu meminum segelas air untuk menghilangkan dahaga perjalanan terik berpuluh kilometer itu. Lalu segera kembali berjalan tanpa alas kaki menyusul kerbau kerbau miliknya yang sudah bersantai dipadang rumput di ujung desanya. Kerbau kerbau itu pagi tadi di giring oleh ayahnya. Dan tugasnya kali ini menjaga kerbau itu sampai ia kenyang. Dan kerbau itu akan kenyang saat mentari kembali beranjak meninggalkan bumi. Jadi setengah hari ia harus memperhatikan kerbaunya satu persatu yang jumlahnya itu ada 15 ekor harus selalu berada dalam ruang lingkup koridornya. Dan apabila ada seekor saja yang membandel harus segera digiring kembali. Kerbau kerbau itu adalah harta yang sangat berharga bagi keluarganya hingga tugas yang dijalaninya adalah tugas yang amatlah berat.
Dan ketika kerbau itu kenyang. Mereka berbondong bondong kembali kekandangnya. Tugas Nurdin adalah mengarahkan kerbau itu. Tongkat bamboo ditangannya adalah senjata yang sanagt ditakuti kerbau itu. Kerbau itu terlihat ketakutan saat Nurdin mendekatinya. Tapi nurdin tak pernah sedikitpun menyakiti kerbau kesayangannya. Saat malam akhirnya membawa kegelapan dan membungkus bumi. Kerbau kerbau itu telah berada didalam kandangnya. Dan pintu kandang dikunci dengan baik dan teliti. Setelah tugasnya terselesaikan kini saatnya bagi Nurdin untuk membersihkan tubuhnya. Tapi sekali lagi ia masih harus kerja keras. Air yang ia pakai untuk membersihkan diri harus ia ambil disumber air yang paling terdekat jaraknya adalah 5kilometer. Dan dua jirigen besar harus ia pikul sepanjang jalan. Sungguh inilah perjuangan hidup sesungguhnya. Tapi bagi Nurdin inilah kehidupan yang harus ia jalani dengan ikhlas tanpa pernah merasa dirinya sial karena lahir dimasa yang amatlah menyulitkan. Tapi dari kehidupan masa kecilnya yang serba berat itu membawa balasan yang sangatah berimbang. Ketika masa masa sulit itu telah berlalu ia telah duduk didalam sebuah ruangan ber AC yang didepannya itu ada sebuah meja dan diatasnya ada papan nama yang bertuliskan Directur perusahaan.
kesulitan tidak akan bertahan lama jika dihadapi dengan keikhlasan percayalah itu. Dan bagi kalian yang merasa teah berbahagia patutlah kalian mengedarkan mata untuk membantu para ikhlas kesulitan untuk membantu mereka walau hanya sekedar memberi semangat.

Beta sonde di Ufuk Timur



BETA SONDE DI UFUK TIMUR


KARYa : Mr M

         Angin dingin masih terasa menusuk, ditengah kegelapan yang masih gulita. Suasana sunyi, senyap dan seram masih terasa, suara burung hantu dan bunyi gonggongan suara anjing bersahutan panjang bernada.
Ditengah hutan belantara, disela sela pepohonan, diatas sebuah tanah lapang, ada 3 bersaudara yang sedang tidur ternyenyak dibawah naungan perlindungan seatap jerami. Mereka tidur bersaf, yang paling kanan bernama Rumere, posisi tidurnya terlentang, dengan telanjang dada yang menutupinya hanyalah sehelai  kain kecil yang melilit selangkangan pahanya, ditutupi lagi dengan daun panjang membentuk setengah rok, Rumere adalah yang paling tua, aku tak tau ia sedang bermimpi apa tapi dengan nyeyaknya ia tertidur, nyamuk tak dapat mengusiknya, karena kulitnya sudah berlapis baja, jika sinyamuk menggigit tak ada yang ia rasakan, Rumere kini mulai gelisah, ia mengubah posisi tidurnya, bergerak menyamping kekanan, tangannya ikut bergerak dan pas mendarat dimuka Boas adiknya, “PAK” suara tamparan dipipi Boas jelas terdengar, spontan boas terkaget, tapi tak sampai terbangun, ia malah menikmati ibu jari Rumere, ia lumat ibu jari rumere dengan mulutnya, mungkin Boas sedang bermimipi menikmati sebatang es krim coklat, yang pernah diberikan oleh para petualang dari luar hutan. Sementara itu.
“Krok…..Krok…Krok”
Suara menyeramkan terdengar, ini bukan suara burung hantu, ini juga bukan suara kodok, dan salah bila kalian mengira ini suara babi hutan, lalu suara apakah itu?. Ternyata suara menyeramkan itu berasal dari mulut Minus, yang tidur diposisi paling kiri, ini sudah kebiasaan Minus, selalu ngorok ketika tertidur, Minus adalah yang paling termuda dari 3 bersaudara ini, kira kira umurnya 12 tahun.
Rumere, Boas dan Minus. Mereka adalah anak-anak pedalaman, mendiami hutan belantara diufuk timur sana tempat matahari mulai memunculkan Sinar kehidupannya. Orang bilang mereka orang timur, ciri khas dari mereka adalah kulit hitam berlumpur dan rambut kumal kritingnya, sangat terlihat tidak terawat.
Sinar matahari sedikit demi sedikit mulai menyemburat disela sela pepohonan, setetes embun pagi bening didedaunan pohon itu berjatuhan berirama, dipagi yang tenang itu, terdengar suara langkah kaki, jelas terdengar ketika menginjak dedaunan kering, langkah kaki itu milik seseorang yang bertubuh besar, tinggi, hitam, botak, dan mata besar merah menyala. Berjalan menghampiri Rumere, boas, dan Minus, yang masih nyeyak tertidur.
“Hey, sudah pagi anak, bangun sudah”
Ternyata suara langkah kaki itu milik ayah mereka bernama olo, sudah  berkali kali  iolo membangunkan anaknya, tetapi mereka belum juga terbangun, iolo kesal dan berteriak.
“ Hey, kalian tulikah, sudah saya bilang, bangun sudah”.(akhirnya mereka bangun juga)
“aduh papa sayange, kenapa bapa bangunkan beta, beta ini sudah mimpi enak makan eskrim bapa”(Boas mengeluh)
“ia bapa, beta juga mimpi enak, beta tadi sudah jadi kepala suku bapa”(Rumere juga ikut mengeluh).
“kalau minus anak punya mimpi apa?”(iolo bertanya pada minus yang tidak ikut mengeluh, minus masih terdiam, mungkin nyawanya belum sepenuhnya kembali, lama Minus tak menjawab, lantas iolo kembali berteriak.)
“Hey, Minus kau tulikah?”(Minus terkaget, spontan dengan kasar ia menjawab.)
“siapa bilang saya tuli, hah, ada yang beranikah?”
“bapa yang bilang”(minus malu)
“ooh maafkan beta bapa, ada apa bapa”
“bapa tanya kau mimpi apa?”
“Beta punya mimpi samar samar bapa, tapi beta rasa, beta bermimipi bertemu sumber air bapa.”
“aah, minus punya mimpi bagus, kalau begitu minus anak, wujudkan beta punya mimpi, pagi ini kalian pergi cari sumber air, kalian punya adik sudah kehausan, nah ini saya beri beta 4 ember, kalian penuhi denagn air lalu pulang kembali.
“Ia bapa”( mereka menjawab bersamaan)
Matahari sudah mulai jelas terlihat, 3 bersaudara telah siap memulai petualangan berjalan sejauh 30 km pulang balik, untuk mencapai sumber air yang paling dekat, mereka telah mempersiapkan segala perlenkapannya, tak ada sandal, tak ada baju hanya dedaunan kering yang menjadi celana, dan sebuah busur yang diikatkan ditubuh mereka sebagai penjagaan, dan hanya ada sedikit air yang ia bawa, 3 rambut kriting ini mulai berjalan memulai petualangan, Rumere berjalan paling depan, Boas paling belakang dan minus diantaranya.
Ada sudah 10.000 langkah yang mereka gerakkan, menembus lebatnya semak semak hutan belantara, selama ini belum ada rintangan berarti yang menghalangi, yang mereka takutkan hanyalah seekor ular yang bisa saja bersembunyi dibalik semak semak lalu menyuntikkan bisa beracunnya, ataukah ada seekor hewan buas yang tiba tiba menyerang dan memangsa tubuh kecil mereka.
“aaah, kaka Rumere, beta sudah lelah”(minus mulai mengeluh setelah menempuh perjalanan sejauh 25 km)
“hey Minus, sumber air sudekah, tinggal sedikit lagi beta sudah sampai”
“ya, Minus bangun sudah, kita jalan lagi, nanti kalau sudah ketemu sumber air kita istirahat disana”(Boas menyemangati adiknya)
“ tapi, beta tak bisa jalan lagi kaka”
“sini, biar beta gendong”(Rumere menggendong adiknya yang sudah sangat kelelahan)”
Dari kejauhan mulai terdengar suara deru aliran air, pertanda bahwa sumber air sudekah
“Hey, Minus, beta dengar suara itu”
“ia kaka Rumere, beta dengar , itu suara apa kaka?”
“itu suara sumber air Minus, sumber air sudekah”
Dengan semangat Minus turun dari gendongan Rumere, stelah mendengar bahwa sumber air sudekah, ia berlari kencang kesumber air itu.
“Hey Minus tunggu beta”( Boas tak mau kalah, ia juga ikut berlari)
dan Rumere menyusulk dibelakang.
Kini dihadapan mereka suasana surgawi terlihat, suara air mengalir jelas terdengar, air sungai itu sangat bening, Minus tak tahan memandangnya, segera ia melepaskan busurnya lalu berlari menyeburkan dirinya kesungai itu. Rumere dan Boas tak mau kalah, 4 buah ember ia letakkan, lalu bersemangat menyusul Minus yang sudah lebih dulu menikmati Sumber air surgawi itu. Minus terlihat menggigil, mungkin air sungai itu dingin, ataukah Minus sedang buang air kecil, entahlah.
Matahari mulai beranjak naik, tepat diatas ubun ubun mereka, 4 ember air telah terisi air, tubuh hitam mereka yang tadinya lelah kini segar kembali, 3 perut yang tadi keroncongan sudah terisi dengan ikan bakar hasil tangkapan mereka.  Kini mereka berjalan pulang kembali dengan senangnya, namun disinilah rintangan yang paling sulit, pergi ke sumber air lebih mudah dari pada pulang dari sumber air, karena ada 4 ember berat yang mereka harus seimbangkan, jangan sampai, begitu tiba dirumah, air juga sudah habis tertumpah
Kini mereka telah berada didalam hutan belantara lagi, 4 ember air itu masih penuh, belum ada rintangan yang berarti yang menghadang mereka, sementara itu Minusterus  berucap dengan senangnya.
“sumber air sudah dapat, beta sonde tak perlu lagi kehausan, beta sonde bantu mama rawat adek”
“HEY Minus, coba beta diam dulu”

Rumere mendengarkan sesuatu dibalik semak semak, mereka bersiaga, busur  siap mereka tembakkan, tiba tiba dibalik semak semak itu muncul seeokor babi hutan, Minus lari terbirit birit berlindung dibalik pepohonan, rumere menembakkan busurnya kearah babi hutan itu berdiri, tapi babi hutan itu terlalu gesit ia berhasil menghindar, babi itu berlari mendekati seember air dibelakang boas. Lantas boas juga ikut menembakkan busurnya, tapi lagi-lagi tak mengenai sasaran. Babi ini lagi lagi menghindar dan akhirnya berhasil menumpahkan air dari ember itu, Rumere kini berada sengat dekat dari babi itu, ia sudah tarik busurnya, siap menembak babi hutan itu, ia yakin pasti akan mengenainya, tetapi Minus berteriak” jangan kaka Rumere, jangan Bunuh babi itu, babi itu cuman kehausan sama seperti beta”,Mendengar ucapan Minus, Rumere tersadar, benar apa kata Minus walaupun dia hanya seeokr babi tapi kita harus berbagi dengannya yang sedang kehausan walau kita juga sedang kehausan. Rumere mengurungkan niatnya, ia tak jadi membusur babi itu dan membiarkannya menikmati seember air yang ia sudah tumpahkan,  Rumere dan adik adiknya kembali melanjutkan perjalanan meninggalkan babi itu.

Matahari mulai tenggelam, mereka akhirnya tiba dirumah, dan menyerahkan 3 ember yang tersisa kepada iolo ayah mereka
“Hey anak, kenapa beta punay air 3 ember saja mana ember satulagi”
“ maafkan beta bapa, Dijalan tadi ada babi hutan yang menjatuhkannya”
“ouh begitu, jadi beta busur babi itu?”
“tidak bapa, kami punya hati kasihan bapa, jadi beta punya busur tidak kami tembakkan”
“bagus anak, beta senang, dengar beta ucap seperti itu, walau pun kita kehausan, apabila ada yang lebih kehausan lagi, lebih baik kita menolongnya, walaupun itu hanya seekor babi hutan.AAH, Kalau begitu makan dulu sana, beta punya mama masak enak”
“ ia bapa”
*THE END*