BETA
SONDE DI UFUK TIMUR
KARYa : Mr M
Angin dingin masih terasa menusuk, ditengah
kegelapan yang masih gulita. Suasana sunyi, senyap dan seram masih terasa,
suara burung hantu dan bunyi gonggongan suara anjing bersahutan panjang
bernada.
Ditengah hutan belantara, disela
sela pepohonan, diatas sebuah tanah lapang, ada 3 bersaudara yang sedang tidur
ternyenyak dibawah naungan perlindungan seatap jerami. Mereka tidur bersaf,
yang paling kanan bernama Rumere, posisi tidurnya terlentang, dengan telanjang
dada yang menutupinya hanyalah sehelai
kain kecil yang melilit selangkangan pahanya, ditutupi lagi dengan daun
panjang membentuk setengah rok, Rumere adalah yang paling tua, aku tak tau ia
sedang bermimpi apa tapi dengan nyeyaknya ia tertidur, nyamuk tak dapat
mengusiknya, karena kulitnya sudah berlapis baja, jika sinyamuk menggigit tak
ada yang ia rasakan, Rumere kini mulai gelisah, ia mengubah posisi tidurnya,
bergerak menyamping kekanan, tangannya ikut bergerak dan pas mendarat dimuka
Boas adiknya, “PAK” suara tamparan dipipi Boas jelas terdengar, spontan boas
terkaget, tapi tak sampai terbangun, ia malah menikmati ibu jari Rumere, ia
lumat ibu jari rumere dengan mulutnya, mungkin Boas sedang bermimipi menikmati
sebatang es krim coklat, yang pernah diberikan oleh para petualang dari luar
hutan. Sementara itu.
“Krok…..Krok…Krok”
Suara menyeramkan terdengar, ini
bukan suara burung hantu, ini juga bukan suara kodok, dan salah bila kalian
mengira ini suara babi hutan, lalu suara apakah itu?. Ternyata suara
menyeramkan itu berasal dari mulut Minus, yang tidur diposisi paling kiri, ini
sudah kebiasaan Minus, selalu ngorok ketika tertidur, Minus adalah yang paling
termuda dari 3 bersaudara ini, kira kira umurnya 12 tahun.
Rumere, Boas dan Minus. Mereka
adalah anak-anak pedalaman, mendiami hutan belantara diufuk timur sana tempat
matahari mulai memunculkan Sinar kehidupannya. Orang bilang mereka orang timur,
ciri khas dari mereka adalah kulit hitam berlumpur dan rambut kumal kritingnya,
sangat terlihat tidak terawat.
Sinar matahari sedikit demi
sedikit mulai menyemburat disela sela pepohonan, setetes embun pagi bening
didedaunan pohon itu berjatuhan berirama, dipagi yang tenang itu, terdengar
suara langkah kaki, jelas terdengar ketika menginjak dedaunan kering, langkah
kaki itu milik seseorang yang bertubuh besar, tinggi, hitam, botak, dan mata
besar merah menyala. Berjalan menghampiri Rumere, boas, dan Minus, yang masih
nyeyak tertidur.
“Hey, sudah pagi anak, bangun sudah”
Ternyata suara langkah kaki itu milik
ayah mereka bernama olo, sudah berkali
kali iolo membangunkan anaknya, tetapi
mereka belum juga terbangun, iolo kesal dan berteriak.
“ Hey, kalian tulikah, sudah saya bilang, bangun sudah”.(akhirnya mereka bangun
juga)
“aduh papa sayange, kenapa bapa bangunkan beta, beta ini sudah mimpi enak makan
eskrim bapa”(Boas mengeluh)
“ia bapa, beta juga mimpi enak, beta tadi sudah jadi kepala suku bapa”(Rumere
juga ikut mengeluh).
“kalau minus anak punya mimpi apa?”(iolo bertanya pada minus yang tidak ikut mengeluh,
minus masih terdiam, mungkin nyawanya belum sepenuhnya kembali, lama Minus tak
menjawab, lantas iolo kembali berteriak.)
“Hey, Minus kau tulikah?”(Minus terkaget, spontan dengan kasar ia menjawab.)
“siapa bilang saya tuli, hah, ada yang beranikah?”
“bapa yang bilang”(minus malu)
“ooh maafkan beta bapa, ada apa bapa”
“bapa tanya kau mimpi apa?”
“Beta punya mimpi samar samar bapa, tapi beta rasa, beta bermimipi bertemu
sumber air bapa.”
“aah, minus punya mimpi bagus, kalau begitu minus anak, wujudkan beta punya
mimpi, pagi ini kalian pergi cari sumber air, kalian punya adik sudah kehausan,
nah ini saya beri beta 4 ember, kalian penuhi denagn air lalu pulang kembali.
“Ia bapa”( mereka menjawab bersamaan)
Matahari sudah mulai jelas
terlihat, 3 bersaudara telah siap memulai petualangan berjalan sejauh 30 km
pulang balik, untuk mencapai sumber air yang paling dekat, mereka telah
mempersiapkan segala perlenkapannya, tak ada sandal, tak ada baju hanya
dedaunan kering yang menjadi celana, dan sebuah busur yang diikatkan ditubuh
mereka sebagai penjagaan, dan hanya ada sedikit air yang ia bawa, 3 rambut
kriting ini mulai berjalan memulai petualangan, Rumere berjalan paling depan,
Boas paling belakang dan minus diantaranya.
Ada sudah 10.000 langkah yang
mereka gerakkan, menembus lebatnya semak semak hutan belantara, selama ini
belum ada rintangan berarti yang menghalangi, yang mereka takutkan hanyalah
seekor ular yang bisa saja bersembunyi dibalik semak semak lalu menyuntikkan
bisa beracunnya, ataukah ada seekor hewan buas yang tiba tiba menyerang dan
memangsa tubuh kecil mereka.
“aaah, kaka Rumere, beta sudah lelah”(minus mulai mengeluh
setelah menempuh perjalanan sejauh 25 km)
“hey Minus, sumber air sudekah, tinggal sedikit lagi beta sudah sampai”
“ya, Minus bangun sudah, kita jalan lagi, nanti kalau sudah ketemu sumber air
kita istirahat disana”(Boas menyemangati adiknya)
“ tapi, beta tak bisa jalan lagi kaka”
“sini, biar beta gendong”(Rumere menggendong adiknya yang sudah sangat
kelelahan)”
Dari kejauhan mulai terdengar
suara deru aliran air, pertanda bahwa sumber air sudekah
“Hey, Minus, beta dengar suara itu”
“ia kaka Rumere, beta dengar , itu suara apa kaka?”
“itu suara sumber air Minus, sumber air sudekah”
Dengan semangat Minus turun dari
gendongan Rumere, stelah mendengar bahwa sumber air sudekah, ia berlari kencang
kesumber air itu.
“Hey Minus tunggu beta”( Boas tak mau kalah, ia juga ikut berlari)
dan Rumere menyusulk dibelakang.
Kini dihadapan mereka suasana
surgawi terlihat, suara air mengalir jelas terdengar, air sungai itu sangat
bening, Minus tak tahan memandangnya, segera ia melepaskan busurnya lalu
berlari menyeburkan dirinya kesungai itu. Rumere dan Boas tak mau kalah, 4 buah
ember ia letakkan, lalu bersemangat menyusul Minus yang sudah lebih dulu menikmati
Sumber air surgawi itu. Minus terlihat menggigil, mungkin air sungai itu
dingin, ataukah Minus sedang buang air kecil, entahlah.
Matahari mulai beranjak naik,
tepat diatas ubun ubun mereka, 4 ember air telah terisi air, tubuh hitam mereka
yang tadinya lelah kini segar kembali, 3 perut yang tadi keroncongan sudah
terisi dengan ikan bakar hasil tangkapan mereka. Kini mereka berjalan pulang kembali dengan
senangnya, namun disinilah rintangan yang paling sulit, pergi ke sumber air
lebih mudah dari pada pulang dari sumber air, karena ada 4 ember berat yang
mereka harus seimbangkan, jangan sampai, begitu tiba dirumah, air juga sudah
habis tertumpah
Kini mereka telah berada didalam
hutan belantara lagi, 4 ember air itu masih penuh, belum ada rintangan yang
berarti yang menghadang mereka, sementara itu Minusterus berucap dengan senangnya.
“sumber air sudah dapat, beta sonde tak perlu lagi kehausan, beta sonde bantu
mama rawat adek”
“HEY Minus, coba beta diam dulu”
Rumere mendengarkan sesuatu
dibalik semak semak, mereka bersiaga, busur
siap mereka tembakkan, tiba tiba dibalik semak semak itu muncul seeokor
babi hutan, Minus lari terbirit birit berlindung dibalik pepohonan, rumere
menembakkan busurnya kearah babi hutan itu berdiri, tapi babi hutan itu terlalu
gesit ia berhasil menghindar, babi itu berlari mendekati seember air dibelakang
boas. Lantas boas juga ikut menembakkan busurnya, tapi lagi-lagi tak mengenai
sasaran. Babi ini lagi lagi menghindar dan akhirnya berhasil menumpahkan air
dari ember itu, Rumere kini berada sengat dekat dari babi itu, ia sudah tarik
busurnya, siap menembak babi hutan itu, ia yakin pasti akan mengenainya, tetapi
Minus berteriak” jangan kaka Rumere, jangan Bunuh babi itu, babi itu cuman
kehausan sama seperti beta”,Mendengar ucapan Minus, Rumere tersadar, benar apa
kata Minus walaupun dia hanya seeokr babi tapi kita harus berbagi dengannya
yang sedang kehausan walau kita juga sedang kehausan. Rumere mengurungkan
niatnya, ia tak jadi membusur babi itu dan membiarkannya menikmati seember air
yang ia sudah tumpahkan, Rumere dan adik
adiknya kembali melanjutkan perjalanan meninggalkan babi itu.
Matahari mulai tenggelam, mereka
akhirnya tiba dirumah, dan menyerahkan 3 ember yang tersisa kepada iolo ayah
mereka
“Hey anak, kenapa beta punay air 3 ember saja mana ember satulagi”
“ maafkan beta bapa, Dijalan tadi ada babi hutan yang menjatuhkannya”
“ouh begitu, jadi beta busur babi itu?”
“tidak bapa, kami punya hati kasihan bapa, jadi beta punya busur tidak kami
tembakkan”
“bagus anak, beta senang, dengar beta ucap seperti itu, walau pun kita
kehausan, apabila ada yang lebih kehausan lagi, lebih baik kita menolongnya,
walaupun itu hanya seekor babi hutan.AAH, Kalau begitu makan dulu sana, beta
punya mama masak enak”
“ ia bapa”
*THE END*