“Tidak anakku mungkin kau bisa menyentuhnya, tapi urungkan
niatmu, saat ini ayah ingin agar engkau diam dan rasakan segala yang
mendatangimu. Biarkan ayah memutarkan sebuah musik yang Indah dari Vivaldi,
yah, anakku judulnya Winter, aku harap engkau bisa meresapi dan memahaminya,
empat musim yang ada di luar dirimu sesungguhnya pula ada di dalam dirimu,”.
“sekarang kita ada di Pantai anakku, tempat di mana ombak itu
mengakhiri perjuangannya, membawa pesan-pesan lautan agar di pahami butir-butir
pasir di anjungan dan burung-burung pantai yang hinggap di pohon lebat itu,
sesekali Nelayan buta kompas itu ikut membaca tanda, lautan ini dan segala
pandangan yang ada di hadapanmu adalah tanda, segala sesuatu itu berbicara
kepadamu, mereka tidak bisu, mereka begitu berisik ingin di pahami. Maka
bacalah Tanda itu.”
“Bagaimana aku bisa membacanya?, tanyamu. Oh Anakku ayah
sudah bilang diam saja dan rasakan segala hal yang mendatangimu. Ayah akan
berisik dan segala apapun yang engkau dengarkan dari mulut ayah simaklah, tapi jangan
lah engkau bersusah payah untuk mengerti, Oh Anakku, aku adalah dirimu dan
dirimu yang mengerti dirimu, Vivaldi masih berbunyi, belum habis semusim. Aku
harap engkau tak tersesat terlalu cepat.”
“jadilah dirimu anakku, lepas segala hal yang memberatkanmu.
Jika kau bisa merasakan hembusan angin itu bercumbu dengan kulit-kulit rapuh
yang melengket di dagingmu itu. Yah maka jadilah seperti Angin, lepaskan segala
hal yang memberatkanmu. Lalu mengisi setiap ruang yang sunyi. Oh anakku angin
itu mengantarkan kita menuju musim ke dua Vivaldi. Simaklah anakku. Dengarkan setiap
nada, terima frekuensi dan pahamilah.”
“Ragukan segala hal, buang semua sampah di alam pikirmu,
robek semua buku kelamin itu. Buku itu hanya mengajarkanmu untuk menjadi lain. Buku
itu hanya mengajarkanmu untuk memuja kelamin. Bakar perpustakaanmu.
Perpustakaan itu hanya membuat labirin di cakrawala pikirmu. Patahkan tangan
penerjemahnya, tangan itu hanya akan membuatmu mengantuk. Bunuh penulisnya,
Karena sepantasnya ia mati. Dan untuk apa engkau memuja yang mati. Pujalah
dirimu, bacalah dirimu, terjemahkan bahasamu, dan jadikan dirimu sendiri
sebagai perpustakaan kebijaksanaan.”
“ketika engkau telah mendapati dirimu ragu, sujudlah di
hadapan keraguan itu, pujalah ragumu, sembahlah ragumu, Karena itulah kepastian
yang bisa engkau pegangi selamanya, congkellah bola matamu, biar hilang sudah lautan di hadapanmu,
lenyaplah sudah burung-burung yang terbang rendah itu, hilanglah awan yang
berbentuk botol arak itu. Tidak usah khawatir anakku setelah engkau buta, akan
tampak Lautan yang asli, akan tampak burung-burung yang telanjang, akan tampak
pula awan yang menumpahkan arak kearahmu”.
“Oh anakku musim berganti, Vivaldi memainkan nada yang lebih
pelan. Hati-hatilah anakku pelan nada itu memberimu kesempatan untuk terlelap.
sabar, aku ingin agar engkau bersabar, tetaplah dengan posisimu. hadapilah
keterlelapan itu, mungkin ada saatnya engkau memang harus tertidur, tapi jangan
sekarang, engkau masih belum bisa mengalahkan keterjagaanmu. Bertahanlah dan
tetaplah berusaha untuk mencongkel bola matamu. Berteriaklah
sekencang-kencangnya, habiskan suaramu hingga kau tak bisa lagi bersuara, putus
pitanya dan menujulah pada keterdiaman, sehingga engkau bersuara dan hanya
engkau yang dapat mendengarkannya.”
“Nikmati sakitnya anakku, pecahkan kesepian yang ada. Sakit
itu akan menyadarkanmu bahwa tubuhmu sendiripun jangan engkau percayai.oh
Tidak, Ada apa dengan musiknya, kemanakah Vivaldi, Oh Wagner mengapa engkau
muncul membawa Tristan Und Isolde kemari, ku mohon jangan ganggu kami”.
“Tidak anakku, fokuslah, rasakan kebutaanmu itu, hiraukan
Tristan dan Isolde, engkau terlalu mudah untuk merasakan cinta, cintailah
dirimu sendiri sebelum engkau mendengarkan Wagner. Janganlah engkau melihat
kelamin manusia lain sebelum engkau mengatasi kelaminmu sendiri, Oh Wagner,
pergilah dari tempat kami, kembalikan
Vivaldi, kami tak punya uang receh.”
“ Oh, apa yang terjadi, ini gila, semuanya menjadi kacau, music
yang aneh, Vivaldi telah bersetubuh dengan Wagner, sekarang dengarkan aku
anakku, setelah engkau congkel bola matamu, putus pita suaramu, sekarang
bunuhlah Ayahmu, dan masukkan darahku ketelingamu, biarkan dua buah telinga itu
menjadi tuli. Hilang Vivaldi, Hilang Wagner.”
“Jangan sungkan anakku, engkau harus membunuhku, sudah
kubilang jadilah angin, lepaskan segala hal yang memberatkanmu, mulai sekarang
engkau yang akan menuntun dirimu sendiri. Pesanku, aku ingin agar engkau
menikahi dan menghisap putting payudara ibumu nanti setelah engkau telah
menjadi manusiawi lagi.”
Matilah Sang Ayah, berteriaklah sang anak, tapi suara itu telah
lenyap.menggerutulah ia. Music aneh dari Wagner dan Vivaldi terus bermain.
Tristan dan Isolde telah bercumbu habis-habisan di sana. Ia ingat pesan
ayahnya.
“ Kuisi lubang telinga ini dengan darahmu ayah, kuminum
sisanya jika masih kurang, kupisahkan daging dan tulang, kuingin agar engkau
senang tak berbentuk lagi, engkau ingin agar aku memuja keraguan. Tapi engkau yang
menghalangi segalanya. Biar kucongkel bola mataku, kucabik-cabik pita suaraku,
ku isi lubang telingaku dengan sesuap darahmu. Tapi Engkau memang sepantasnya
mati. Tak bergunalah segalanya, Engkaulah biang kerok dari semua kesesatan ini.
akulah yang memainkan Wagner ayah. Akulah yang mengundang Tristan Und Isolde
kemari, Hahahaha.”
“ Bagaimana bisa kau menyerahkan payudara Ibu kepadaku setelah
engkau nikmati siang malam. Engkaulah yang menghilangkan kesucian payudara itu.
Aku seharusnya tak perlu ragu Karena engkaulah yang membuatkan jadi lain. Dulu
saat kuhisap puting payudara ibuku. Aku masih bisa melihat lautan dengan Jelas,
Burung-burung itu Telanjang, dan aku tak butuh minum Arak. Susu dari Ibu adalah
kepuasan eksistensi. Aku tak butuh Vivaldi dan empat musimnya. Hanya ada satu
hal yang kuinginkan payudara Isolde seperti yang di inginkan Tristan. Setelah
kematianmu, setidaknya aku bisa kembali merasakan kenikmatan puting itu.”
Sang anak berteriak membelah ombak Lautan.
“Oh Ayahku yang Tragis, sudah lama ku inginkan agar engkau
mati saja.”
“ tak akan pernah kubisa membaca tanda bila wajah surammu
mengisi cakrawala pikirku.”
“Oh ayahku, matilah engkau. Kukubur jasadmu bersama perpustakaanku
yang terbakar. Terbelah kaset Vivaldi. Kubuang bersama Jasadmu.”
“Oh Ayahku, engkau sering bercerita tentang Vivaldi. Tapi
siapakah Vivaldi? Aku tak pernah mengerti tentang empat musim itu. Aku tak suka
dengan musiknya, musiknya music tragis.”
“Oh tidak, aku harus segera kembali kepayudara Ibuku sebelum
sang ayah baru muncul”.
“ hahahahahahahaha”..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar