Jumat, 09 Desember 2016

Pertarungan Ayah dan anak, pertarungan empat musim bersama Vivaldi dan Wagner



“Tidak anakku mungkin kau bisa menyentuhnya, tapi urungkan niatmu, saat ini ayah ingin agar engkau diam dan rasakan segala yang mendatangimu. Biarkan ayah memutarkan sebuah musik yang Indah dari Vivaldi, yah, anakku judulnya Winter, aku harap engkau bisa meresapi dan memahaminya, empat musim yang ada di luar dirimu sesungguhnya pula ada di dalam dirimu,”.

“sekarang kita ada di Pantai anakku, tempat di mana ombak itu mengakhiri perjuangannya, membawa pesan-pesan lautan agar di pahami butir-butir pasir di anjungan dan burung-burung pantai yang hinggap di pohon lebat itu, sesekali Nelayan buta kompas itu ikut membaca tanda, lautan ini dan segala pandangan yang ada di hadapanmu adalah tanda, segala sesuatu itu berbicara kepadamu, mereka tidak bisu, mereka begitu berisik ingin di pahami. Maka bacalah Tanda itu.”

“Bagaimana aku bisa membacanya?, tanyamu. Oh Anakku ayah sudah bilang diam saja dan rasakan segala hal yang mendatangimu. Ayah akan berisik dan segala apapun yang engkau dengarkan dari mulut ayah simaklah, tapi jangan lah engkau bersusah payah untuk mengerti, Oh Anakku, aku adalah dirimu dan dirimu yang mengerti dirimu, Vivaldi masih berbunyi, belum habis semusim. Aku harap engkau tak tersesat terlalu cepat.”

“jadilah dirimu anakku, lepas segala hal yang memberatkanmu. Jika kau bisa merasakan hembusan angin itu bercumbu dengan kulit-kulit rapuh yang melengket di dagingmu itu. Yah maka jadilah seperti Angin, lepaskan segala hal yang memberatkanmu. Lalu mengisi setiap ruang yang sunyi. Oh anakku angin itu mengantarkan kita menuju musim ke dua Vivaldi. Simaklah anakku. Dengarkan setiap nada, terima frekuensi dan pahamilah.”

“Ragukan segala hal, buang semua sampah di alam pikirmu, robek semua buku kelamin itu. Buku itu hanya mengajarkanmu untuk menjadi lain. Buku itu hanya mengajarkanmu untuk memuja kelamin. Bakar perpustakaanmu. Perpustakaan itu hanya membuat labirin di cakrawala pikirmu. Patahkan tangan penerjemahnya, tangan itu hanya akan membuatmu mengantuk. Bunuh penulisnya, Karena sepantasnya ia mati. Dan untuk apa engkau memuja yang mati. Pujalah dirimu, bacalah dirimu, terjemahkan bahasamu, dan jadikan dirimu sendiri sebagai perpustakaan kebijaksanaan.”

“ketika engkau telah mendapati dirimu ragu, sujudlah di hadapan keraguan itu, pujalah ragumu, sembahlah ragumu, Karena itulah kepastian yang bisa engkau pegangi selamanya, congkellah bola matamu,  biar hilang sudah lautan di hadapanmu, lenyaplah sudah burung-burung yang terbang rendah itu, hilanglah awan yang berbentuk botol arak itu. Tidak usah khawatir anakku setelah engkau buta, akan tampak Lautan yang asli, akan tampak burung-burung yang telanjang, akan tampak pula awan yang menumpahkan arak kearahmu”.

“Oh anakku musim berganti, Vivaldi memainkan nada yang lebih pelan. Hati-hatilah anakku pelan nada itu memberimu kesempatan untuk terlelap. sabar, aku ingin agar engkau bersabar, tetaplah dengan posisimu. hadapilah keterlelapan itu, mungkin ada saatnya engkau memang harus tertidur, tapi jangan sekarang, engkau masih belum bisa mengalahkan keterjagaanmu. Bertahanlah dan tetaplah berusaha untuk mencongkel bola matamu. Berteriaklah sekencang-kencangnya, habiskan suaramu hingga kau tak bisa lagi bersuara, putus pitanya dan menujulah pada keterdiaman, sehingga engkau bersuara dan hanya engkau yang dapat mendengarkannya.”

“Nikmati sakitnya anakku, pecahkan kesepian yang ada. Sakit itu akan menyadarkanmu bahwa tubuhmu sendiripun jangan engkau percayai.oh Tidak, Ada apa dengan musiknya, kemanakah Vivaldi, Oh Wagner mengapa engkau muncul membawa Tristan Und Isolde kemari, ku mohon jangan ganggu kami”.

“Tidak anakku, fokuslah, rasakan kebutaanmu itu, hiraukan Tristan dan Isolde, engkau terlalu mudah untuk merasakan cinta, cintailah dirimu sendiri sebelum engkau mendengarkan Wagner. Janganlah engkau melihat kelamin manusia lain sebelum engkau mengatasi kelaminmu sendiri, Oh Wagner, pergilah dari tempat kami,  kembalikan Vivaldi, kami tak punya uang receh.”

“ Oh, apa yang terjadi, ini gila, semuanya menjadi kacau, music yang aneh, Vivaldi telah bersetubuh dengan Wagner, sekarang dengarkan aku anakku, setelah engkau congkel bola matamu, putus pita suaramu, sekarang bunuhlah Ayahmu, dan masukkan darahku ketelingamu, biarkan dua buah telinga itu menjadi tuli. Hilang Vivaldi, Hilang Wagner.”

“Jangan sungkan anakku, engkau harus membunuhku, sudah kubilang jadilah angin, lepaskan segala hal yang memberatkanmu, mulai sekarang engkau yang akan menuntun dirimu sendiri. Pesanku, aku ingin agar engkau menikahi dan menghisap putting payudara ibumu nanti setelah engkau telah menjadi manusiawi lagi.”

Matilah Sang Ayah, berteriaklah sang anak, tapi suara itu telah lenyap.menggerutulah ia. Music aneh dari Wagner dan Vivaldi terus bermain. Tristan dan Isolde telah bercumbu habis-habisan di sana. Ia ingat pesan ayahnya.

“ Kuisi lubang telinga ini dengan darahmu ayah, kuminum sisanya jika masih kurang, kupisahkan daging dan tulang, kuingin agar engkau senang tak berbentuk lagi, engkau ingin agar aku memuja keraguan. Tapi engkau yang menghalangi segalanya. Biar kucongkel bola mataku, kucabik-cabik pita suaraku, ku isi lubang telingaku dengan sesuap darahmu. Tapi Engkau memang sepantasnya mati. Tak bergunalah segalanya, Engkaulah biang kerok dari semua kesesatan ini. akulah yang memainkan Wagner ayah. Akulah yang mengundang Tristan Und Isolde kemari, Hahahaha.”

“ Bagaimana bisa kau menyerahkan payudara Ibu kepadaku setelah engkau nikmati siang malam. Engkaulah yang menghilangkan kesucian payudara itu. Aku seharusnya tak perlu ragu Karena engkaulah yang membuatkan jadi lain. Dulu saat kuhisap puting payudara ibuku. Aku masih bisa melihat lautan dengan Jelas, Burung-burung itu Telanjang, dan aku tak butuh minum Arak. Susu dari Ibu adalah kepuasan eksistensi. Aku tak butuh Vivaldi dan empat musimnya. Hanya ada satu hal yang kuinginkan payudara Isolde seperti yang di inginkan Tristan. Setelah kematianmu, setidaknya aku bisa kembali merasakan kenikmatan puting itu.”

Sang anak berteriak membelah ombak Lautan.

“Oh Ayahku yang Tragis, sudah lama ku inginkan agar engkau mati saja.”

“ tak akan pernah kubisa membaca tanda bila wajah surammu mengisi cakrawala pikirku.”

“Oh ayahku, matilah engkau. Kukubur jasadmu bersama perpustakaanku yang terbakar. Terbelah kaset Vivaldi. Kubuang bersama Jasadmu.”

“Oh Ayahku, engkau sering bercerita tentang Vivaldi. Tapi siapakah Vivaldi? Aku tak pernah mengerti tentang empat musim itu. Aku tak suka dengan musiknya, musiknya music tragis.”

“Oh tidak, aku harus segera kembali kepayudara Ibuku sebelum sang ayah baru muncul”.

“ hahahahahahahaha”..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar