“Dasar kafir. Dasar manusia kafir.”
Sebuah ucapan, makian yang melukai hati siapapun
yang ditujunya. Itulah yang terjadi pada diri H. Nurdin. Seorang lelaki paruh
bayah yang dulunya adalah tokoh masyarakat yang dihormati oleh masyarakat
Bontojai. Namun karena pilihan yang dipilihnya pada keputusan berat yang harus
di putuskannya. Hajji Nurdin
harus menerima makian yang bertubi-tubi datang dari mulut masyarakat
sekitarnya. Tetangga yang dulu selalu tersenyum padanya. Kini memberikan
tatapan sinis kearahnya. Saudara-saudara yang seharusnya memberikan
perlindungan kini menutup semua pintu rumahnya dari kedatangan Hajji Nurdin.
Amat pedih cobaan yang harus diterima oleh hajji Nurdin. Keputusan apakah yang di buatnya sehingga ia
harus dihujani caci dan makian?.
Beberapa tahun silam. Hajji Nurdin hidup bahagia
bersama keluarganya. Sebelum datang cobaan datang menimpanya. Hajji Nurdin adalah
seorang alim yang sering memberikan nasihat yang bijak kepada masyarakat
Bontojai. Ia begitu dihormati. ketika ada sebuah masalah yang terjadi di
masyarakat Bontojai. Hajji Nurdin sering memberikan jalan keluar yang cerdas.
Ketika terjadi konflik antar masyarakat. Hajji Nurdin seringkali menjadi hakim
yang memberikan keputusan yang berkeadilan dan berkesusilaan.
Hajji Nurdin yang adalah seorang terpelajar
lulusan kairo. Memang layak menjadi bunga yang harum bagi masyarkat bontojai.
Kehadirannya di tengah masyarakat bontojai bagai sebuah mata air yang
menyejukkan. Setidaknya itulah majas yang bisa digambarkan akan penghormatan
masyarakat bontojai kepadanya sebelum keputusan yang akhirnya merubah semua
persepsi akan dirinya.
Hajji Nurdin memiliki seorang anak lelaki yang
tampan. Anak itu bernama Socrates. Lengkapnya Muhammad Socrates. Muhammad socrates adalah pemuda
yang mewarisi kesopanan ayahnya. Ia adalah pemuda yang sangat menjunjung tinggi
kebebasan hak. Sangat menghargai yang namanya toleransi. Ia yang adalah
mahasiswa Filsafat sangat sadar akan kebijaksanaan. Semua bibit kecerdasan
emosional dan intelektualnya adalah hasil pupukan dari ayahnya.
Karena socrates menjunjung tinggi kebebasan. ia
menerima semua lamaran pertemanan tanpa memandang bulu. Kaya dan miskin, baik
dan buruk, beragama atau tidak beragama bahkan manusia atau bukan manusia
menjadi daftar teman yang diajaknya berinteraksi. Semua jenis buku dibacanya.
Buku kiri, kanan dan tengah dibacanya setiap hari. Dan socrates menaruh
perhatian besarnya kepada sastra. Ia cinta dengan puisi. Penyair yang di
kaguminya adalah Gunawan Muhammad dan Jalaluddin Rumi. Socrates seringkali
hadir membacakan puisinya di pentas seni kampus ataupun umum. Meski puisinya
seringkali tidak mendapatkan timbal balik dari pendengarnya. Hanya ada
segelintir orang saja yang bertepuk tangan untuknya. Karena memang puisi yang
ditulisnya adalah puisi yang berbahasa filosofis transendental.
KUTANYA MALAM
“MALAM APAKAH KAU MALAM?”
KUTANYA SIANG
“SIANG APAKAH KAU SIANG?
KUATANYA BULAN DAN MATAHARI
APAKAH KAU BULAN DAN MATAHARI
JIKALAU KAMU MEMANG KAMU
MENGAPA KAU MALAM, SIANG , BULAN DAN MATAHARI.
Itu adalah salah satu karyanya. Puisi yang
filosofis. Puisi yang hanya dapat
dikonsumsi bagi yang memahami dirinya. Yakni seorang yang memiliki
keautentikannya sendiri.
Suatu saat ketika ia baru saja membacakan puisinya
pada pentas seni kota. Seorang gadis yang sopan tersenyum malu-malu kearahnya.
Gadis itu cantik bermata sayu dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai.
Ia berjalan mendekati socrates. Dan socrates tahu akan hal itu. Demi
menghormati gadis itu. Socrates lebih dulu melangkahkan kakinya mendekati gadis
tersebut. sehingga mereka saling mendekat dan terjadilah percakapan pertama
antara mereka berdua.
“ Assalamu alaikum” ucap socrates dengan sopan.
Gadis itu diam saja mendengar salam dari Socrates.
Socrates yang tahu bahwa salam selain wajib menjawabnya. Menjawab salam menjadi tanda bahwa interaksi bisa dilanjutkan.
“anda tidak ingin menjawab salam saya nona?” tanya
Socrates tanpa menghilangkan kesopanannya.
“ mengapa saya harus menjawabnya?” gadis itu
kembali bertanya juga dengan sopan.
“ saya telah mendoakan keselamatan bagi Anda. Sekiranya
jika anda peduli pada saya. Saya berharap anda juga mendoakan saya?” jelas
Socrates
“ kalau begitu aku menjawabnya dengan om suwasti
wastu. Apakah itu bisa menjawabnya?” gadis itu tersenyum manis.
Mendengar jawaban itu Socrates tertawa kecil. Dan
ia sudah tahu gadis ini menganut agama yang berbeda dengan agamanya.
“ itu juga jawaban nona. Tapi ada baiknya merpati
dipasangkan dengan merpati. Bukan merpati dipasangkan dengan rajawali. Jawab
dari Assalamu alaikum adalah walaikum salam. Ada baiknya seperti itu nona.”
Jawab Socrates
“baiklah walaikum salam.” Gadis itu tersenyum
lagi.
“ karena nona sudah menjwab salam saya. Maka
percakapan bisa kita lanjutkan nona. Apa ada yang bisa saya bantu nona”.
“aku suka dengan puisi kamu?”
“oh yah. Terima kasih. Nona suka puisi yang mana?”
“ aku suka semua puisimu yang filosofis, sangat
unik dan dalam”
“nama anda siapa nona. Jarang ada seorang gadis
yang menyukai puisiku?”
“ Bintang, Bintang Nibbana”
Sejak saat itu. Socrates menjalin hubungan
pertemanan yang erat. Antara yang dikagumi dan yang mengagumi. Namun lama
kelamaan mereka saling mengagumi. Dan jika dua insan telah berada pada garis
tali saling mengagumi maka muncullah simpul – simpul cinta yang menghubungkan
keduanya.
Socrates dan Bintang menuju pada tahap selanjutnya
yakni saling menguatnya simpul cinta itu hingga tak lagi dapat dipisahkan.
Mereka menjauhkan segala perbedaan mencolok antara mereka berdua. Perbedaan
keyakinan, perbedaan iman, perbedaan budaya, dan perbedaan Agama. Namun pepatah
cinta mengatakan. Cinta adalah penghubung bagi segala perbedaan. Dan pepatah
inilah mereka pegang erat-erat.
Pada hari yang baru saja tenggelam. Waktu magrib
baru saja berlalu. Sebuah motor bebek tua berhenti di depan rumah gedongan yang
besar dan mewah. Di gerbangnya ada ukiran ukiran candi. Didepan gerbang itulah
Socrates memarkirkan motornya. Ia hendak bertamu ke rumah Bintang. dan betul
saja. Bintang keluar dari pintu dan menyambut kedatangannya dengan senyumannya
yang paling manis.
“ silahkan masuk, kamu sudah di tunggu oleh ayah
dan ibu”
Sebelum mamasuki pintu, Socrates mengucapkan
salam. Bintang menjawabnya dengan jelas namun kedua orang tuanya menjawab
dengan suara yang pelan. Mereka memberikan wajah yang serius. Melihat hal itu
Socrates memberikan senyuman
pahitnya.
“silahkan duduk” Ayah bintang mempersilahkan
Socrates.
“terima kasih pak” socrates membungkuk sedikit
lalu duduk dihadapan kedua orang tua Bintang. yang seolah menjadi pewancara
bagi seorang pelamar kerja. Dan memang posisi Socrates saat
ini adalah ingin menunjukkan keseriusan dirinya untuk menjalin hubungan dengan
Bintang.
“ ayah jangan terlalu serius begitu dong. Lihat
wajah Socrates dia jadi ketakutan” sahut bintang yang berdiri dibelakang
Socrates.
“oh yah. Apa saya membuatmu takut Socrates” ucap
ayah Bintang, kali ini dengan wajahnya yang santai.
“tidak pak. Saya cuman agak kikuk. Karena baru
kali ini saya bertemu langsung dengan bapak.”
“oh iyah ayah. Socrates ini mengagumi Ayah. Dia
suka dengan buku-buku Ayah?”.
ayah Bintang adalah seorang dosen, tokoh agama dan penulis. Memiliki banyak buku yang mengangkat persoalan agamanya dan ada beberapa yang berbicara tentang Filsafat. Namanya cukup terkenal dikalangan intelektual.
“ oh yah kamu suka dengan buku yang mana.?”
“saya suka buku tentang filsafat Budhisme. Buku
tentang sejarah Budha. Dan menjadi Budha Buku-buku bapak sangat berkualitas”
“ dan puisi-puisi kamu juga menarik Socrates.
Jarang ada penyair yang mengangkat tema filosofis”
“terima kasih banyak pak”
“Bintang, kamu kebelakang sana. Bantu ibu siapin
makan malam”
“iya ayah” Bintang dan ibunya berjalan
meninggalkan ayahnya dan Socrates. Dan Socrates mengerti bahwa ini adalah tanda
bahwa akan terjadi percakapan serius diantara mereka. Dan benar. Ayah Socrates
memulainya.
“ Socrates. Bapak mau tanya, Apakah kamu mencintai
Bintang?”
“ia pak”. Socrates sengaja menjawab dengan sangat singkat. Karena ia
berpikir. Bahwa keseriusan untuk mencintai hanya bisa di nilai lewat perbuatan.
Namun itu bernilai terbalik bagi ayah Bintang. Mendengar jawaban dari Socrates.
Ayah Bintang, memicingkan matanya diikuti dengan kerutan didahinya. Sebuah
desahan memberikan tanda bahwa ayah bintang meragukan cinta dari Socrates.
“kamu harus tahu Socrates. Cinta itu bisa padam,
dan cinta itu ibarat tanah yang harus terus menerus menerima beban dari kaki
kaki makhluk. Tanah itu bisa hancur jika terlalu basah. Dan tanah itu akan kuat
jika ia telah menjadi batu. Saya harap cintamu kepada bintang menjadi batu.
Hingga kuat menerima beban”
“ ia pak”
“namun apakah kau sudah tahu beban apa yang yang
paling berat yang bisa menghancurkan cintamu?”
“ saya sadar. Bahwa beban yang harus kami pikul.
Adalah beban perbedaan Agama. Namun kami yakin. Kami akan sanggup menghadapi hal tersebut”
“ tidak Socrates. Kamu tidak akan sanggup.”
“Saya akan sanggup pak” Socrates
bersikeras.
“untuk mengatakan Sanggup, tidak cukup pada dirimu
saja. bapak tahu kau sanggup. Tapi bagaimana dengan Bintang, kami, dan
bagaimana kau akan menyanggupi Ayah, ibu, keluargamu dan tetangga-tetanggamu.
Agamamu melarang betul dengan hal ini. Sebelum kamu benar-benar mengatakan
siap. Bicarakanlah hal ini dulu pada keluargamu. Tapi pelan-pelan. Saya
merestui hubungan kamu dengan bintang untuk saat ini. Tapi jika kau ingin
menikahi bintang. nikahi dulu keluargamu.”
Mendengar nasihat yang bijak dari Ayah Bintang.
Socrates menyadari akan apa yang tidak di sadarinya. Dia menyadari bahwa tidak
semua kepala sama dengan isi kepalanya. Socrates yang menganggap kebebasan
adalah hak bagi semua manusia tidak sejalan dengan yang lainnya.
Acara makan malam itu memberi pelajaran yang
berarti bagi Socrates. Dan ia pulang dengan kepala tegap.
“Saya pulang dulu Bintang”.
Socrates
tersenyum ke Bintang. Bintang juga membalas tdengan senyumannya yang lebar.
Namun ia belum tahu ada beban berat dibalik senyuman Socrates. Senyuman
kebingungan.
Tiga hari sudah.
Socrates memikirkan eksistensi hubungannya dengan Bintang. Ia sudah punya nyali
untuk berbicara dengan ayahnya yang tercinta. Namun ia masih belum tahu
bagaimana cara yang tepat untuk berbicara dengan ayahnya. Socrates tahu betul
ayahnya adalah seorang yang bersahaja dan bijaksana. Ayahnya pasti akan
memberikan jalan keluar baginya. Seperti masalah-masalah yang seringkali di
hadapinya. Ayah Socrates selalu memberikan jalan keluar. Namun kali ini lain.
Socrates sudah menduga-duga dan ia takut kalau dugaanya itu terbukti benar.
Dugaan. Bahwa ayahnya akan berucap “ nak, mengapa kau harus memilih perempuan
yang berbeda agamanya. Padahal banyak perempuan salihah yang sama agamanya
denganmu”.
Socrates
berpikir panjang lagi. Ia duduk termenung diteras rumahnya. Memandangi bintang
dan bulan. Beserta langit gelap. Dalam keresahanya itu ia dihampiri oleh
seorang lelaki paruh bayah yang bersahaja. Yang tak lain adalah ayahnya.
“Socrates sini
kamu duduk di samping ayah.” Socrates menoleh dan ia menuruti kata ayahnya.
“kamu sedang ada
masalah. Ceritalah pada ayah. Sebuah masalah bisa kita selesaikan dengan
musyawarah”.
“tidak ayah.
Socrates tidak punya masalah. Socrates baik-baik saja Ayah.”
“Ayah ingatkan sekali
lagi. Kadang ada masalah yang tidak bisa diselasaikan sendiri. Dan ada masalah
pun jika di pendam akan menjadi masalah yang lebih berat. Ceritakan pada ayah
apa masalahmu”.
Socrates tidak
lagi dapat kekeh memendam masalahnya. Dan ia akhirnya membeberkan masalahnya
pada Ayahnya.
“aku mencintai
seorang gadis. Dan aku ingin menikahinya ayah?”
“alhamdulillah.
dan masalahnya di mana nak?”
“aku ingin
menikahi seorang gadis dari agama lain?” Socrates jelas mengucapkan kalimat
tersebut.dan ia siap mendengar penolakan dari ayahnnya.
Mendegar
pernyataan anaknya.hajji Nurdin memberikan mimik wajah yang dingin. Hajji Nurdin terdiam cukup lama. Ia sedang
memikirkan jawaban yang paling tepat dari jawaban anaknya. Ia sedang menyusun kalimat yang
paling pantas untuk di ucapkannya. Kalimat yang paling halus yang dapat di
dengar oleh anaknya. Dia tahu
tindakan anaknya adalah di luar dari kuasanya. Ini masalah cinta. Dan hajji
Nurdin sadar. Cinta sering kali menghadirkan masalah yang rumit untuk di
selesaikan.
“ gadis itu beragama apa?”
“Budha ayah?”
“bagaimana akhlaknya?”
“berakhlatul karimah ayah”
“bagaimana keluarganya”
“terhormat ayah”
“bagaimana hartanya”
“insyaallah Halal Ayah”
“bagaimana fisiknya”
“dia gadis yang cantik ayah?”
“Apakah kecantikan itu yang membuatmu jatuh
cinta?”
“Tidak Ayah. Sesungguhnya banyak yang lebih cantik
dari dirinya. Namun tidak yang lebih berakhlak dari dirinya.”
“kau sudah membandingkannya dengan gadis yang
lain?”
“belum Ayah.”
“apa kau tertarik untuk membandingkannya dengan
gadis yang lain?”
“tidak ayah. Socrates sudah mempertimbangkan
segalanya. Dia yang paling terbaik bagi Socrates.”
“apa dia bersedia mengganti agamanya demi dirimu?”
“aku belum membicarakannya?”
“bicarakanlah dulu. Dan saya harap kamu jangan
membelot dari syahadatmu.?”
“baiklah ayah?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar