Minggu, 26 Juli 2015

Cerpen Socrates dan Bintang. (beda dibawah naungan restu)




Dasar kafir. Dasar manusia kafir.”
Sebuah ucapan, makian yang melukai hati siapapun yang ditujunya. Itulah yang terjadi pada diri H. Nurdin. Seorang lelaki paruh bayah yang dulunya adalah tokoh masyarakat yang dihormati oleh masyarakat Bontojai. Namun karena pilihan yang dipilihnya pada keputusan berat yang harus di putuskannya. Hajji Nurdin harus menerima makian yang bertubi-tubi datang dari mulut masyarakat sekitarnya. Tetangga yang dulu selalu tersenyum padanya. Kini memberikan tatapan sinis kearahnya. Saudara-saudara yang seharusnya memberikan perlindungan kini menutup semua pintu rumahnya dari kedatangan Hajji Nurdin. Amat pedih cobaan yang harus diterima oleh hajji Nurdin.  Keputusan apakah yang di buatnya sehingga ia harus dihujani caci dan makian?.
Beberapa tahun silam. Hajji Nurdin hidup bahagia bersama keluarganya. Sebelum datang cobaan datang menimpanya. Hajji Nurdin adalah seorang alim yang sering memberikan nasihat yang bijak kepada masyarakat Bontojai. Ia begitu dihormati. ketika ada sebuah masalah yang terjadi di masyarakat Bontojai. Hajji Nurdin sering memberikan jalan keluar yang cerdas. Ketika terjadi konflik antar masyarakat. Hajji Nurdin seringkali menjadi hakim yang memberikan keputusan yang berkeadilan dan berkesusilaan.
Hajji Nurdin yang adalah seorang terpelajar lulusan kairo. Memang layak menjadi bunga yang harum bagi masyarkat bontojai. Kehadirannya di tengah masyarakat bontojai bagai sebuah mata air yang menyejukkan. Setidaknya itulah majas yang bisa digambarkan akan penghormatan masyarakat bontojai kepadanya sebelum keputusan yang akhirnya merubah semua persepsi akan dirinya.
Hajji Nurdin memiliki seorang anak lelaki yang tampan. Anak itu bernama Socrates. Lengkapnya Muhammad Socrates. Muhammad socrates adalah pemuda yang mewarisi kesopanan ayahnya. Ia adalah pemuda yang sangat menjunjung tinggi kebebasan hak. Sangat menghargai yang namanya toleransi. Ia yang adalah mahasiswa Filsafat sangat sadar akan kebijaksanaan. Semua bibit kecerdasan emosional dan intelektualnya adalah hasil pupukan dari ayahnya.
Karena socrates menjunjung tinggi kebebasan. ia menerima semua lamaran pertemanan tanpa memandang bulu. Kaya dan miskin, baik dan buruk, beragama atau tidak beragama bahkan manusia atau bukan manusia menjadi daftar teman yang diajaknya berinteraksi. Semua jenis buku dibacanya. Buku kiri, kanan dan tengah dibacanya setiap hari. Dan socrates menaruh perhatian besarnya kepada sastra. Ia cinta dengan puisi. Penyair yang di kaguminya adalah Gunawan Muhammad dan Jalaluddin Rumi. Socrates seringkali hadir membacakan puisinya di pentas seni kampus ataupun umum. Meski puisinya seringkali tidak mendapatkan timbal balik dari pendengarnya. Hanya ada segelintir orang saja yang bertepuk tangan untuknya. Karena memang puisi yang ditulisnya adalah puisi yang berbahasa filosofis transendental.
KUTANYA MALAM
“MALAM APAKAH KAU MALAM?”
KUTANYA SIANG
“SIANG APAKAH KAU SIANG?
KUATANYA BULAN DAN MATAHARI
APAKAH KAU BULAN DAN MATAHARI
JIKALAU KAMU MEMANG KAMU
MENGAPA KAU MALAM, SIANG , BULAN DAN MATAHARI.
Itu adalah salah satu karyanya. Puisi yang filosofis. Puisi yang hanya dapat dikonsumsi bagi yang memahami dirinya. Yakni seorang yang memiliki keautentikannya sendiri.
Suatu saat ketika ia baru saja membacakan puisinya pada pentas seni kota. Seorang gadis yang sopan tersenyum malu-malu kearahnya. Gadis itu cantik bermata sayu dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Ia berjalan mendekati socrates. Dan socrates tahu akan hal itu. Demi menghormati gadis itu. Socrates lebih dulu melangkahkan kakinya mendekati gadis tersebut. sehingga mereka saling mendekat dan terjadilah percakapan pertama antara mereka berdua.
“ Assalamu alaikum” ucap socrates dengan sopan.
Gadis itu diam saja mendengar salam dari Socrates. Socrates yang tahu bahwa salam selain wajib menjawabnya. Menjawab  salam menjadi tanda bahwa interaksi bisa dilanjutkan.
“anda tidak ingin menjawab salam saya nona?” tanya Socrates tanpa menghilangkan kesopanannya.
“ mengapa saya harus menjawabnya?” gadis itu kembali bertanya juga dengan sopan.
“ saya telah mendoakan keselamatan bagi Anda. Sekiranya jika anda peduli pada saya. Saya berharap anda juga mendoakan saya?” jelas Socrates
“ kalau begitu aku menjawabnya dengan om suwasti wastu. Apakah itu bisa menjawabnya?” gadis itu tersenyum manis.
Mendengar jawaban itu Socrates tertawa kecil. Dan ia sudah tahu gadis ini menganut agama yang berbeda dengan agamanya.
“ itu juga jawaban nona. Tapi ada baiknya merpati dipasangkan dengan merpati. Bukan merpati dipasangkan dengan rajawali. Jawab dari Assalamu alaikum adalah walaikum salam. Ada baiknya seperti itu nona.” Jawab Socrates
“baiklah walaikum salam.” Gadis itu tersenyum lagi.
“ karena nona sudah menjwab salam saya. Maka percakapan bisa kita lanjutkan nona. Apa ada yang bisa saya bantu nona”.
“aku suka dengan puisi kamu?”
“oh yah. Terima kasih. Nona suka puisi yang mana?”
“ aku suka semua puisimu yang filosofis, sangat unik dan dalam”
“nama anda siapa nona. Jarang ada seorang gadis yang menyukai puisiku?”
“ Bintang, Bintang Nibbana”
Sejak saat itu. Socrates menjalin hubungan pertemanan yang erat. Antara yang dikagumi dan yang mengagumi. Namun lama kelamaan mereka saling mengagumi. Dan jika dua insan telah berada pada garis tali saling mengagumi maka muncullah simpul – simpul cinta yang menghubungkan keduanya.
Socrates dan Bintang menuju pada tahap selanjutnya yakni saling menguatnya simpul cinta itu hingga tak lagi dapat dipisahkan. Mereka menjauhkan segala perbedaan mencolok antara mereka berdua. Perbedaan keyakinan, perbedaan iman, perbedaan budaya, dan perbedaan Agama. Namun pepatah cinta mengatakan. Cinta adalah penghubung bagi segala perbedaan. Dan pepatah inilah mereka pegang erat-erat.
Pada hari yang baru saja tenggelam. Waktu magrib baru saja berlalu. Sebuah motor bebek tua berhenti di depan rumah gedongan yang besar dan mewah. Di gerbangnya ada ukiran ukiran candi. Didepan gerbang itulah Socrates memarkirkan motornya. Ia hendak bertamu ke rumah Bintang. dan betul saja. Bintang keluar dari pintu dan menyambut kedatangannya dengan senyumannya yang paling manis.
“ silahkan masuk, kamu sudah di tunggu oleh ayah dan ibu”
Sebelum mamasuki pintu, Socrates mengucapkan salam. Bintang menjawabnya dengan jelas namun kedua orang tuanya menjawab dengan suara yang pelan. Mereka memberikan wajah yang serius. Melihat hal itu Socrates memberikan senyuman pahitnya.
“silahkan duduk” Ayah bintang mempersilahkan Socrates.
“terima kasih pak” socrates membungkuk sedikit lalu duduk dihadapan kedua orang tua Bintang. yang seolah menjadi pewancara bagi seorang pelamar kerja. Dan memang posisi Socrates saat ini adalah ingin menunjukkan keseriusan dirinya untuk menjalin hubungan dengan Bintang.
“ ayah jangan terlalu serius begitu dong. Lihat wajah Socrates dia jadi ketakutan” sahut bintang yang berdiri dibelakang Socrates.
“oh yah. Apa saya membuatmu takut Socrates” ucap ayah Bintang, kali ini dengan wajahnya yang santai.
“tidak pak. Saya cuman agak kikuk. Karena baru kali ini saya bertemu langsung dengan bapak.”
“oh iyah ayah. Socrates ini mengagumi Ayah. Dia suka dengan buku-buku Ayah?”.

ayah Bintang adalah seorang dosen, tokoh agama dan penulis. Memiliki banyak buku yang mengangkat persoalan agam
anya dan ada beberapa yang berbicara tentang Filsafat. Namanya cukup terkenal dikalangan intelektual.
“ oh yah kamu suka dengan buku yang mana.?”
“saya suka buku tentang filsafat Budhisme. Buku tentang sejarah Budha. Dan menjadi Budha Buku-buku bapak sangat berkualitas”
“ dan puisi-puisi kamu juga menarik Socrates. Jarang ada penyair yang mengangkat tema filosofis”
“terima kasih banyak pak”
“Bintang, kamu kebelakang sana. Bantu ibu siapin makan malam”
“iya ayah” Bintang dan ibunya berjalan meninggalkan ayahnya dan Socrates. Dan Socrates mengerti bahwa ini adalah tanda bahwa akan terjadi percakapan serius diantara mereka. Dan benar. Ayah Socrates memulainya.
“ Socrates. Bapak mau tanya, Apakah kamu mencintai Bintang?”
ia pak. Socrates sengaja menjawab dengan sangat singkat. Karena ia berpikir. Bahwa keseriusan untuk mencintai hanya bisa di nilai lewat perbuatan. Namun itu bernilai terbalik bagi ayah Bintang. Mendengar jawaban dari Socrates. Ayah Bintang, memicingkan matanya diikuti dengan kerutan didahinya. Sebuah desahan memberikan tanda bahwa ayah bintang meragukan cinta dari Socrates.
“kamu harus tahu Socrates. Cinta itu bisa padam, dan cinta itu ibarat tanah yang harus terus menerus menerima beban dari kaki kaki makhluk. Tanah itu bisa hancur jika terlalu basah. Dan tanah itu akan kuat jika ia telah menjadi batu. Saya harap cintamu kepada bintang menjadi batu. Hingga kuat menerima beban”
“ ia pak”
“namun apakah kau sudah tahu beban apa yang yang paling berat yang bisa menghancurkan cintamu?”
“ saya sadar. Bahwa beban yang harus kami pikul. Adalah beban perbedaan Agama. Namun kami yakin. Kami akan sanggup menghadapi hal tersebut”
“ tidak Socrates. Kamu tidak akan sanggup.”
“Saya akan sanggup pak” Socrates bersikeras.
“untuk mengatakan Sanggup, tidak cukup pada dirimu saja. bapak tahu kau sanggup. Tapi bagaimana dengan Bintang, kami, dan bagaimana kau akan menyanggupi Ayah, ibu, keluargamu dan tetangga-tetanggamu. Agamamu melarang betul dengan hal ini. Sebelum kamu benar-benar mengatakan siap. Bicarakanlah hal ini dulu pada keluargamu. Tapi pelan-pelan. Saya merestui hubungan kamu dengan bintang untuk saat ini. Tapi jika kau ingin menikahi bintang. nikahi dulu keluargamu.”
Mendengar nasihat yang bijak dari Ayah Bintang. Socrates menyadari akan apa yang tidak di sadarinya. Dia menyadari bahwa tidak semua kepala sama dengan isi kepalanya. Socrates yang menganggap kebebasan adalah hak bagi semua manusia tidak sejalan dengan yang lainnya.
Acara makan malam itu memberi pelajaran yang berarti bagi Socrates. Dan ia pulang dengan kepala tegap.
“Saya pulang dulu Bintang”.
Socrates tersenyum ke Bintang. Bintang juga membalas tdengan senyumannya yang lebar. Namun ia belum tahu ada beban berat dibalik senyuman Socrates. Senyuman kebingungan.

Tiga hari sudah. Socrates memikirkan eksistensi hubungannya dengan Bintang. Ia sudah punya nyali untuk berbicara dengan ayahnya yang tercinta. Namun ia masih belum tahu bagaimana cara yang tepat untuk berbicara dengan ayahnya. Socrates tahu betul ayahnya adalah seorang yang bersahaja dan bijaksana. Ayahnya pasti akan memberikan jalan keluar baginya. Seperti masalah-masalah yang seringkali di hadapinya. Ayah Socrates selalu memberikan jalan keluar. Namun kali ini lain. Socrates sudah menduga-duga dan ia takut kalau dugaanya itu terbukti benar. Dugaan. Bahwa ayahnya akan berucap “ nak, mengapa kau harus memilih perempuan yang berbeda agamanya. Padahal banyak perempuan salihah yang sama agamanya denganmu”.
Socrates berpikir panjang lagi. Ia duduk termenung diteras rumahnya. Memandangi bintang dan bulan. Beserta langit gelap. Dalam keresahanya itu ia dihampiri oleh seorang lelaki paruh bayah yang bersahaja. Yang tak lain adalah ayahnya.
“Socrates sini kamu duduk di samping ayah.” Socrates menoleh dan ia menuruti kata ayahnya.
“kamu sedang ada masalah. Ceritalah pada ayah. Sebuah masalah bisa kita selesaikan dengan musyawarah”.
“tidak ayah. Socrates tidak punya masalah. Socrates baik-baik saja Ayah.”
“Ayah ingatkan sekali lagi. Kadang ada masalah yang tidak bisa diselasaikan sendiri. Dan ada masalah pun jika di pendam akan menjadi masalah yang lebih berat. Ceritakan pada ayah apa masalahmu”.
Socrates tidak lagi dapat kekeh memendam masalahnya. Dan ia akhirnya membeberkan masalahnya pada Ayahnya.
“aku mencintai seorang gadis. Dan aku ingin menikahinya ayah?”
“alhamdulillah. dan masalahnya di mana nak?”
“aku ingin menikahi seorang gadis dari agama lain?” Socrates jelas mengucapkan kalimat tersebut.dan ia siap mendengar penolakan dari ayahnnya.
Mendegar pernyataan anaknya.hajji Nurdin memberikan mimik wajah yang dingin. Hajji Nurdin terdiam cukup lama. Ia sedang memikirkan jawaban yang paling tepat dari jawaban  anaknya. Ia sedang menyusun kalimat yang paling pantas untuk di ucapkannya. Kalimat yang paling halus yang dapat di dengar oleh anaknya. Dia tahu tindakan anaknya adalah di luar dari kuasanya. Ini masalah cinta. Dan hajji Nurdin sadar. Cinta sering kali menghadirkan masalah yang rumit untuk di selesaikan.
“ gadis itu beragama apa?”
“Budha ayah?”
“bagaimana akhlaknya?”
“berakhlatul karimah ayah”
“bagaimana keluarganya”
“terhormat ayah”
“bagaimana hartanya”
“insyaallah Halal Ayah”
“bagaimana fisiknya”
“dia gadis yang cantik ayah?”
“Apakah kecantikan itu yang membuatmu jatuh cinta?”
“Tidak Ayah. Sesungguhnya banyak yang lebih cantik dari dirinya. Namun tidak yang lebih berakhlak dari dirinya.”
“kau sudah membandingkannya dengan gadis yang lain?”
“belum Ayah.”
“apa kau tertarik untuk membandingkannya dengan gadis yang lain?”
“tidak ayah. Socrates sudah mempertimbangkan segalanya. Dia yang paling terbaik bagi Socrates.”
“apa dia bersedia mengganti agamanya demi dirimu?”
“aku belum membicarakannya?”
“bicarakanlah dulu. Dan saya harap kamu jangan membelot dari syahadatmu.?”

“baiklah ayah?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar