Siapakah dibalik semua ini?
Saat Rammanga(awan komulunimbus) berbaris membentuk
the giant wall diatas awan. Tiada seorang ibu yang tak khawatir dengan anaknya.
Awan itu pertanda hujan paku nan turun membentur daratan. Dan sangat berisik
ketika menghujam diatap seng rumah panggung penduduk desa Katambila.
Aku sedang asyik mempecundangi kawan-kawanku. Mereka
telah kehabisan banyak baguli. Aku pitappa kalau soal bermain baguli. Dan
setiap aku mengalahkan mereka. Ammah mereka selalu datang mencubit telingaku.
Karena anak mereka mengadu soal kekalahan yang baru saja mereka alami.
Aku tertawa dengan wajah mereka yang sudah penuh
dengan air mata. Kuejek mereka dengan membunyikan sekantong baju baguli. Dari
pelukan ibu mereka. mereka berlima bermusyawarah dengan berbisik tidak jelas
dan akhirnya mereka angkat bicara dengan kesepakatan untuk tidak mengikut
sertakan diriku dalam permainan selanjutnya. Tentu itu tak bisa kuterima.
Dengan retorika anggota DPR yang sering kusaksikan di TV. aku berhasil membujuk
mereka untuk selalu mengikut sertakan diriku dalam setiap permainan baguli
dengan catatan diriku mengalah ketika beguli yang kudapatkan sudah segenggam
tangan orang dewasa. Sebuah politik yang cerdas.
Rammanga itu terdengar mual dan bergemuruh.
Mengeluarkan pedang kilatnya. Dan aku tahu sebentar lagi ibundaku tersayang
akan meninggikan suaranya, kuhitung satu sampai tiga.
Satu. Anak-anak cengeng itu mulai berjalan bersama
ibunya tersayang. Lapangan belakang masjid mulai sepi. Dan para ibu secepat
kilat meraih pakaian mereka yang sudah setengah kering.
Dua. Aku mendengar suara ban berdecit dari arah jalan
tanah liat dipinggir lapangan. Itu suara sapeda singking milik kakekku yang
baru saja pulang bersama rombongan kerbau bule dan hitamnya.
Tiga. “ Ammank” suara ibuku terdengar juga dari arah
depan masjid. “pulangki nak. Hujanki” dari arah depan mesjid ibuku melambai
kearahku. Dan aku tahu aku harus secepatnya berjalan kearah lambaian tangan
itu. Kuperhatikan lapangan yang tadinya ramai dengan banyak suara, sudah mulai
lapang. yang terdengar ramai kini suara Guntur yang menakutkan. Dan aku tahu
kini saatnya untuk berlari kearah ibuku.
Dan seketika. Rammanga itu mengeluarkan pelurunya dan
menembaki dataran desa katambila. Ammahku berhasil menggendongku hingga
mencapai beranda rumah tanpa basah kuyup. Hujan begitu deras disertai angin yang
bertiup kencang. Hanya sekelebat aku melihat ada pohon tumbang diseberang
jalan. Karena ammahku sudah mengamankan tubuh kecilku didalam rumah. Hujan
disertai guntur itu bergemuruh dan suaranya begitu keras sangking kerasnya aku
tak bisa mendengar perkatan ammahku tetapi bisa kutebak. Ammahku berkata jangan
kau keluar rumah. Petir bisa saja menyambarmu.
Dari balik jendela rumahku. Aku memperhatikan hujan
deras yang jatuh membasahi pohon yang sudah tak bergoyang lagi. Angin kencang
itu sudah kehabisan nafas. Dari arah belakang tubuhku kudengar suara langkah
kaki kecil. Aku membalikkan badan. Tersaksikanlah seorang lelaki tua memakai
sarung kotak-kotak. baju muslim putih dengan sebuah emblem tanda penghargaan
kepahlawanan disangkutkan dibagian dada kirinya. dan sebuah kopiah bugisi lusuh
menutup rambut putihnya. sambil membawa secangkir kopi hitam pekat. Berjalan
mendekat kearahku. Itu adalah kakekku yang baru saja pulang dari sawahnya.
“ apa antu mae nuciniki anakku?” ucapnya dengan bahasa
Makassarnya ketika duduk disampingku.
“Tenaja nenek?” jawabku tak bisa menjelaskan.
“ mae-maeko rinni mempo ri rampikku. nia ero
kucaritakangko anak.” Ucapnya sambil memukul kursi yang ada disampingnya. Itu
pertanda bahwa aku disuruhnya duduk disitu.
“ carita apa nenek” ucapku ketika aku sudah duduk
disampingnya.
“ kau lihat hujan diluar. Dan apa kau juga mendengar
Guntur itu bersuara. Dan kau lihat awan hitam itu. Siapakah yang membuat semua
itu terjadi? Apakah mereka terjadi begitu saja. Tanpa ada sebab.” Ucapnya lalu
meminum secangkir kopi.
Aku berpikir dengan keras. Pertanyaan itu begitu
sulit. Dikelas tiga SD sambil mengantuk aku pernah mendengar guruku menjelaskan
siklus hujan. Mulai dari penguapan dilaut, awan yang menampung semuanya. Dan
kemudian terbawa oleh angin dan akhirnya turun hujan. Kurang lebih seperti itu.
Tapi siapa yang mengatur semua itu. Tentu semua itu tak terjadi begitu saja.
Pasti ada sebabnya.
“ bagaimana anak. Kau sudah tahu apa jawabannya?” ucap
kakekku membuyarkan diriku dari pikiran yang begitu membingungkanku.
“ tena kuissengi nenek. Apakah nenek tahu jawabannya?”
aku balik bertanya. Kakekku setahuku tidak pernah mengenyam pendidikan yang
begitu disiplin. Kakekku sendiri yang pernah mengatakan kepadaku bahwa dia
tidak pernah mengenal satupun siapa gurunya. Karena memang dia tidak pernah
diajari oleh seorang guru. Tapi dari semua pertanyaan yang diajukannya itu
adalah pertanyaan yang tidak pernah sedikitpun disinggung oleh guruku
disekolah. Pertanyaan macam apa itu? Dan apakah jawabannya?. Aku sedang
menunggu jawabannya. Dan wajah kakekku yang keriput penuh dengan kebijaksanaan
begitu terlihat meyakinkan. Dan ia mulai menjawab.
“ kau tahu nak dibalik semua sesuatu pasti ada
penyebabnya. Hujan menurunkan air, itu terjadi karena ada yang menurunkannya.
Kilat itu menyambar-nyambar. Karena ada yang membuatnya menyambar nyambar. Dan
Guntur itu bersuara keras dan menakutkan bukan karena penghuni neraka sedang
dihukum. Tapi Guntur itu bersuara karena ada yang membuatnya bersuara. Semua
hal yang terjadi dialam bukan terjadi begitu saja. Dia terjadi karena ada yang
menjadikan.” Kata kata kakekku begitu membingungkan. Dia berhenti sejenak.
Mulutnya mulai kering dan ia meraih cangkir kopinya dan meneguk kopi satu kali
tegukan dan menyimpan kembali cangkir kopi itu ketempatnya semula. Dan ia menatapku
dengan tatapan yang begitu teduh. Dan melanjutkan penjelasannya.
“ nenek tahu
ini pelajaran yang begitu membingungkanmu. Tapi umurmu sudah sepuluh tahun. Kau
sudah harus menggunakan otakmu berpikir sesuatu yang harus dipikir. Meski orang
orang awam mengatakan bahwa pertanyaan kakek adalah pertanyaan yang membuang
buang waktu untuk membahasnya. Tapi untuk lebih lanjutnya aku akan memberikanmu
tugas malam ini. Pikirkan pertanyaan kakek tadi dan aku ingin tahu jawabannya
esok.” Kakekku berdiri dari tempat duduknya karena adzan dimasjid yang tak jauh
dari rumah memanggilnya. Dan ia meninggalkanku dengan pekerjaan otak yang aku
tahu itu pertanyaan yang mudah dilontarkan tapi untuk menjawabnya butuh waktu
yang agak sedikit lama.
Malam ini aku duduk didepan cermin. Dan aku dengan
tololnya berbicara dengan bayanganku dibalik cermin itu. Aku bertanya kepadanya
semua hal yang ditanyakan oleh kakekku.
“hey apa kau tahu siapa yang membuat hujan itu.?”
Dia tidak menjawab malah mengikuti diriku. Dan tak ada
bedanya. Ketika aku bertanya. Diapun juga ikut bertanya. Dan itu bukan sesuatu
yang membuatku senang. Malah menyebalkan dan aku berjalan kepinggir jendela kamarku
lalu aku memandang bulan dan bintang yang bersinar dilangit. Lama aku menatap
bulan itu sambil memikirkan pertanyaan kakekku. Tapi tak ada jawaban yang
kudapatkan. Malah pertanyaan itu semakin bertambah.
“ bagaimana bisa bulan itu bersinar. Dan bintang itu terus
berdiri ditempatnya. Kemanakah mereka ketika siang hari?” ini sangat membingungkan dan aku sudah tidak
kuat lagi menahan rasa penasaran yang ada dikepalaku. Aku akan menemui kakekku
malam ini juga.
“ kakek” aku berteriak disetiap sudut rumah. Biasanya
sekali berteriak sudah ada jawaban. Tapi untuk kedua kalinya tak ada jawaban
juga. Dan ketiga kalinya aku memanggil kakekku dan yang menyahut adalah ibuku.
“ kakekmu sedang berada dikebun durian nak.” Ucap
ibuku yang datang menghampiriku. Dari arah dapur.
“ hujan hujan begini kakek bermalam disana?” ucapku
yang merasa salut dengan keberanian kakek.
“ kakekmu akan pulang sebentar malam.”
“ouh kalau begitu aku akan menunggunya ibu?” ucapku
lalu kembali kedalam kamar.
“kenapa begitu penting. Ada urusan apa kamu dengan
kakekmu.” Tanya ibuku yang merasa penasaran.
“ ada deh ibu?” jawabku dengan nada menggoda.
Lama aku menunggu kehadiran kakekku diruang tamu tapi
pintu rumah belum juga ada yang membukanya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul
10 malam. Suara katak diluar rumah begitu berisik. Tapi suaranya itu malah
membuatku mengantuk. Dan aku tak tahan lagi. Tanpa aku tahu. Aku merasa ada
yang mengangkat tubuhku dan aku tahu itu adalah ibuku yang akan membawaku
kedalam kamar. Dan akupun tertidur pulas disana dengan pertanyaan yang belum
juga terjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar