Rabu, 14 Januari 2015

Siapakah Dibalik semua ini?




Siapakah dibalik semua ini?
 

Saat Rammanga(awan komulunimbus) berbaris membentuk the giant wall diatas awan. Tiada seorang ibu yang tak khawatir dengan anaknya. Awan itu pertanda hujan paku nan turun membentur daratan. Dan sangat berisik ketika menghujam diatap seng rumah panggung penduduk desa Katambila.
Aku sedang asyik mempecundangi kawan-kawanku. Mereka telah kehabisan banyak baguli. Aku pitappa kalau soal bermain baguli. Dan setiap aku mengalahkan mereka. Ammah mereka selalu datang mencubit telingaku. Karena anak mereka mengadu soal kekalahan yang baru saja mereka alami.
Aku tertawa dengan wajah mereka yang sudah penuh dengan air mata. Kuejek mereka dengan membunyikan sekantong baju baguli. Dari pelukan ibu mereka. mereka berlima bermusyawarah dengan berbisik tidak jelas dan akhirnya mereka angkat bicara dengan kesepakatan untuk tidak mengikut sertakan diriku dalam permainan selanjutnya. Tentu itu tak bisa kuterima. Dengan retorika anggota DPR yang sering kusaksikan di TV. aku berhasil membujuk mereka untuk selalu mengikut sertakan diriku dalam setiap permainan baguli dengan catatan diriku mengalah ketika beguli yang kudapatkan sudah segenggam tangan orang dewasa. Sebuah politik yang cerdas.
Rammanga itu terdengar mual dan bergemuruh. Mengeluarkan pedang kilatnya. Dan aku tahu sebentar lagi ibundaku tersayang akan meninggikan suaranya, kuhitung satu sampai tiga.
Satu. Anak-anak cengeng itu mulai berjalan bersama ibunya tersayang. Lapangan belakang masjid mulai sepi. Dan para ibu secepat kilat meraih pakaian mereka yang sudah setengah kering.
Dua. Aku mendengar suara ban berdecit dari arah jalan tanah liat dipinggir lapangan. Itu suara sapeda singking milik kakekku yang baru saja pulang bersama rombongan kerbau bule dan hitamnya.
Tiga. “ Ammank” suara ibuku terdengar juga dari arah depan masjid. “pulangki nak. Hujanki” dari arah depan mesjid ibuku melambai kearahku. Dan aku tahu aku harus secepatnya berjalan kearah lambaian tangan itu. Kuperhatikan lapangan yang tadinya ramai dengan banyak suara, sudah mulai lapang. yang terdengar ramai kini suara Guntur yang menakutkan. Dan aku tahu kini saatnya untuk berlari kearah ibuku.
Dan seketika. Rammanga itu mengeluarkan pelurunya dan menembaki dataran desa katambila. Ammahku berhasil menggendongku hingga mencapai beranda rumah tanpa basah kuyup. Hujan begitu deras disertai angin yang bertiup kencang. Hanya sekelebat aku melihat ada pohon tumbang diseberang jalan. Karena ammahku sudah mengamankan tubuh kecilku didalam rumah. Hujan disertai guntur itu bergemuruh dan suaranya begitu keras sangking kerasnya aku tak bisa mendengar perkatan ammahku tetapi bisa kutebak. Ammahku berkata jangan kau keluar rumah. Petir bisa saja menyambarmu.
Dari balik jendela rumahku. Aku memperhatikan hujan deras yang jatuh membasahi pohon yang sudah tak bergoyang lagi. Angin kencang itu sudah kehabisan nafas. Dari arah belakang tubuhku kudengar suara langkah kaki kecil. Aku membalikkan badan. Tersaksikanlah seorang lelaki tua memakai sarung kotak-kotak. baju muslim putih dengan sebuah emblem tanda penghargaan kepahlawanan disangkutkan dibagian dada kirinya. dan sebuah kopiah bugisi lusuh menutup rambut putihnya. sambil membawa secangkir kopi hitam pekat. Berjalan mendekat kearahku. Itu adalah kakekku yang baru saja pulang dari sawahnya.
“ apa antu mae nuciniki anakku?” ucapnya dengan bahasa Makassarnya ketika duduk disampingku.
“Tenaja nenek?” jawabku tak bisa menjelaskan.
“ mae-maeko rinni mempo ri rampikku. nia ero kucaritakangko anak.” Ucapnya sambil memukul kursi yang ada disampingnya. Itu pertanda bahwa aku disuruhnya duduk disitu.
“ carita apa nenek” ucapku ketika aku sudah duduk disampingnya.
“ kau lihat hujan diluar. Dan apa kau juga mendengar Guntur itu bersuara. Dan kau lihat awan hitam itu. Siapakah yang membuat semua itu terjadi? Apakah mereka terjadi begitu saja. Tanpa ada sebab.” Ucapnya lalu meminum secangkir kopi.
Aku berpikir dengan keras. Pertanyaan itu begitu sulit. Dikelas tiga SD sambil mengantuk aku pernah mendengar guruku menjelaskan siklus hujan. Mulai dari penguapan dilaut, awan yang menampung semuanya. Dan kemudian terbawa oleh angin dan akhirnya turun hujan. Kurang lebih seperti itu. Tapi siapa yang mengatur semua itu. Tentu semua itu tak terjadi begitu saja. Pasti ada sebabnya.
“ bagaimana anak. Kau sudah tahu apa jawabannya?” ucap kakekku membuyarkan diriku dari pikiran yang begitu membingungkanku.

“ tena kuissengi nenek. Apakah nenek tahu jawabannya?” aku balik bertanya. Kakekku setahuku tidak pernah mengenyam pendidikan yang begitu disiplin. Kakekku sendiri yang pernah mengatakan kepadaku bahwa dia tidak pernah mengenal satupun siapa gurunya. Karena memang dia tidak pernah diajari oleh seorang guru. Tapi dari semua pertanyaan yang diajukannya itu adalah pertanyaan yang tidak pernah sedikitpun disinggung oleh guruku disekolah. Pertanyaan macam apa itu? Dan apakah jawabannya?. Aku sedang menunggu jawabannya. Dan wajah kakekku yang keriput penuh dengan kebijaksanaan begitu terlihat meyakinkan. Dan ia mulai menjawab.
“ kau tahu nak dibalik semua sesuatu pasti ada penyebabnya. Hujan menurunkan air, itu terjadi karena ada yang menurunkannya. Kilat itu menyambar-nyambar. Karena ada yang membuatnya menyambar nyambar. Dan Guntur itu bersuara keras dan menakutkan bukan karena penghuni neraka sedang dihukum. Tapi Guntur itu bersuara karena ada yang membuatnya bersuara. Semua hal yang terjadi dialam bukan terjadi begitu saja. Dia terjadi karena ada yang menjadikan.” Kata kata kakekku begitu membingungkan. Dia berhenti sejenak. Mulutnya mulai kering dan ia meraih cangkir kopinya dan meneguk kopi satu kali tegukan dan menyimpan kembali cangkir kopi itu ketempatnya semula. Dan ia menatapku dengan tatapan yang begitu teduh. Dan melanjutkan penjelasannya.
 “ nenek tahu ini pelajaran yang begitu membingungkanmu. Tapi umurmu sudah sepuluh tahun. Kau sudah harus menggunakan otakmu berpikir sesuatu yang harus dipikir. Meski orang orang awam mengatakan bahwa pertanyaan kakek adalah pertanyaan yang membuang buang waktu untuk membahasnya. Tapi untuk lebih lanjutnya aku akan memberikanmu tugas malam ini. Pikirkan pertanyaan kakek tadi dan aku ingin tahu jawabannya esok.” Kakekku berdiri dari tempat duduknya karena adzan dimasjid yang tak jauh dari rumah memanggilnya. Dan ia meninggalkanku dengan pekerjaan otak yang aku tahu itu pertanyaan yang mudah dilontarkan tapi untuk menjawabnya butuh waktu yang agak sedikit lama.
Malam ini aku duduk didepan cermin. Dan aku dengan tololnya berbicara dengan bayanganku dibalik cermin itu. Aku bertanya kepadanya semua hal yang ditanyakan oleh kakekku.
“hey apa kau tahu siapa yang membuat hujan itu.?”
Dia tidak menjawab malah mengikuti diriku. Dan tak ada bedanya. Ketika aku bertanya. Diapun juga ikut bertanya. Dan itu bukan sesuatu yang membuatku senang. Malah menyebalkan dan aku berjalan kepinggir jendela kamarku lalu aku memandang bulan dan bintang yang bersinar dilangit. Lama aku menatap bulan itu sambil memikirkan pertanyaan kakekku. Tapi tak ada jawaban yang kudapatkan. Malah pertanyaan itu semakin bertambah.
“ bagaimana bisa bulan itu bersinar. Dan bintang itu terus berdiri ditempatnya. Kemanakah mereka ketika siang hari?”  ini sangat membingungkan dan aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa penasaran yang ada dikepalaku. Aku akan menemui kakekku malam ini juga.
“ kakek” aku berteriak disetiap sudut rumah. Biasanya sekali berteriak sudah ada jawaban. Tapi untuk kedua kalinya tak ada jawaban juga. Dan ketiga kalinya aku memanggil kakekku dan yang menyahut adalah ibuku.
“ kakekmu sedang berada dikebun durian nak.” Ucap ibuku yang datang menghampiriku. Dari arah dapur.
“ hujan hujan begini kakek bermalam disana?” ucapku yang merasa salut dengan keberanian kakek.
“ kakekmu akan pulang sebentar malam.”
“ouh kalau begitu aku akan menunggunya ibu?” ucapku lalu kembali kedalam kamar.
“kenapa begitu penting. Ada urusan apa kamu dengan kakekmu.” Tanya ibuku yang merasa penasaran.
“ ada deh ibu?” jawabku dengan nada menggoda.
Lama aku menunggu kehadiran kakekku diruang tamu tapi pintu rumah belum juga ada yang membukanya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Suara katak diluar rumah begitu berisik. Tapi suaranya itu malah membuatku mengantuk. Dan aku tak tahan lagi. Tanpa aku tahu. Aku merasa ada yang mengangkat tubuhku dan aku tahu itu adalah ibuku yang akan membawaku kedalam kamar. Dan akupun tertidur pulas disana dengan pertanyaan yang belum juga terjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar